Heboh Transisi Energi, Siapa Nanggung Kenaikan Biaya Listrik?

3 October 2023, 16:55

Jakarta, CNBC Indonesia – Reforminer Institute mengungkapkan tiga skenario pembiayaan produksi listrik dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam proses menjalankan transisi energi di Indonesia. Hal itu mengingat, biaya listrik dari pembangkit EBT akan lebih mahal ketimbang dari energi fosil batu bara.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengungkapkan bisa saja pembiayaan dari penggunaan EBT dibebankan kepada perusahaan listrik, kepada konsumen, ataupun disubsidi oleh pemerintah.
“Berarti kalau yang EBT-nya masuk kan otomatis structure cost-nya akan naik dan ini kan pasti nanti pertanyaannya ini akan dibebankan ke konsumen dibebankan ke pelaku usaha atau disubsidi oleh negara,” jelas Komaidi kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (3/10/2023).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dia mengatakan tidak ada pilihan lain yang bisa digunakan selain ketiga pilihan tersebut. Komaidi klaim hal tersebut menjadi beban ekonomi. “Jadi cuma ada tiga pilihan itu. Dan semuanya sebetulnya menjadi beban of economic,” tambahnya.
Adapun, Komaidi mengungkapkan bahwa biaya listrik yang diproduksi dengan batu bara masih berada di bawah kisaran Rp 1.000 per KWh. Sedangkan, bila menggunakan EBT maka biaya listrik akan lebih mahal mencapai di atas Rp 1.000 per KWh.
“Jadi EBT kan sekarang mungkin kalau listrik, batu bara katakanlah di kisaran Rp 700-Rp 800, tetapi kalau yang energi baru terbarukan kan di atas Rp 1.000,” beber Komaidi.
Mahalnya pembiayaan listrik EBT tersebut lantaran terdapat berbagai tantangan bagi Indonesia yang ingin melakukan transisi energi menggunakan EBT. Walaupun memang, dia menyebutkan bahwa potensi EBT di Indonesia terhitung besar.
“Betul kita punya sumber energi baru terbarukan cukup besar begitu, tetapi juga ada beberapa problem di sana. Salah satunya adalah problem intermitensi artinya pasokannya kan tidak stabil, di fosil ini yang saya kira juga perlu disiapkan oleh pemerintah karena kan pasti butuh backup,” ucapnya.
Dia mengatakan bahwa ada pula sumber energi terbarukan yang tidak terganjal intermitensi seperti yang bisa dimanfaatkan pada panas bumi. Sayang, Komaidi menyebutkan sumber energi panas bumi juga memiliki keterbatasan lantaran berada di lokasi yang jauh dari pusat kegiatan masyarakat.
“Sementara panas bumi sejauh ini kan lokasinya ada di daerah-daerah remote area, ada di pegunungan yang memang secara infrastrukturnya masih belum siap, relatif belum siap dibandingkan sumber energi baru terbarukan yang lain sehingga biayanya tentu lebih besar,” terang dia.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Komaidi menyebutkan bahwa hal ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama semua pihak agar bisa mendorong pembiayaan yang lebih murah ke depannya.
“Nah ini yang menjadi PR kita bersama, terutama pengambil kebijakan bagaimana bisa mendorong cost structure-nya itu menjadi lebih murah nantinya ke depan,” tandasnya.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Pentingnya Optimasi Gas di Masa Transisi Energi

(pgr/pgr)

Partai

K / L

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi