Hari Dongeng Sedunia, Memahami Kedaulatan Pangan Nusantara melalui Folklor Dewi Padi

20 March 2024, 20:07

TEMPO.CO, Jakarta – Buku Manifestasi Folklor Dewi Padi: Simbol Kearifan tentang Keberlanjutan Pangan, dirilis bertepatan momentum Hari Dongeng Sedunia melalui siaran daring pada Rabu, 20 Maret 2024. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Peneleh Jang Oetama.Buku Manifestasi Folklor Dewi Padi mengulas tentang folklor Nusantara sebagai medium edukasi lintas generasi.  “Pesan yang justru penting bagi masa depan dan pijakan itu tersimpan rapi dalam folklor,” kata Wulansary, Inisiator Gerakan Nusantara Code yang juga penulis buku tersebut saat peluncuran laporan risetnya.Folklor Nusantara Dewi Padi Wulansary menyoroti soal folklor yang rentan dianggap tidak relevan untuk kehidupan masa kini dan mendatang. Krisis pangan dan masalah identitas budaya juga dipengaruhi lunturnya folklor sebagai pegangan pengetahuan. “Cara (pengetahuan) leluhur perlu dilanjutkan,” ucapnya.Wulansary bercerita, pada 2017 ia mulai mendalami tentang folklor Mbok Rondo Kuning di Desa Tamiajeng, Kecamatan Terawas, Mojokerto, Jawa Timur. “Dongeng salah satu bentuk folklor. Tapi, folklor tak cuma dongeng dan mitos,” kata lulusan antropologi Universitas Airlangga itu.Ia memahami folklor sebagai tradisi kolektif. Mengikuti pandangan ahli folklor Alan Dundes, kata dia, folklor merupakan bahasa lisan yang dengan memahaminya mendapat pengetahuan. Itu mengenai nilai-nilai gagasan dan pandangan dunia masyarakat melihat realitas di sekitarnya.“Saya mendapat suatu insight (wawasan) di Desa Tamiajeng tentang Mbok Rondo Kuning sebagai belief system (sistem kepercayaan),” tuturnya. Selanjutnya, Wulansary mendalami minatnya meneliti sistem kepercayaan terhadap Dewi Padi.Pada 2019, kata dia, ia membuat film dokumenter Mbok Rondo Kuning. Tahun 2022, ia berfokus meneliti folklor Dewi Padi di beberapa daerah lainnya, yaitu Badui (Banten), Wajo (Sulawesi Selatan), Pedawa, Buleleng (Bali).“Saya berfokus folklor sebagai gerbang masuk. Memang begitu leluhur menyimpan pesan dengan kode-kode tertentu (dalam folklor),” kata Wulansary. Ia mengatakan, khazanah pengetahuan lokal di masing-masing daerah itu ada kesamaan, walaupun penyebutan nama untuk Dewi Padi itu berlainan.Iklan

Keempat wilayah itu berbeda secara geografis, demografis, budaya, dan sejarah. Hal ini mempengaruhi data-data yang didapat. Kearifan lokal, kata dia, pengetahuan tradisional pengalaman, pikiran, rasa dijalankan leluhur dalam tatanan hidup yang menyeluruh dengan alam.”Leluhur Nusantara berpengetahuan maju dan bijaksana. Hubungan harmonis leluhur dengan alam menuntun interaksi saling menjaga dan tanpa eksploitasi,” tuturnya.Dari khazanah folklor itu, Wulansary memandang untuk mengurangi kerentanan krisis pangan bisa merujuk agroekologi. “Nusantara punya agroekologi itu,” katanya.Pendiri Aktivis Peneleh Jang Oetama Aji Dedi Mulawarman menanggapi isi buku Manifestasi Folklor Dewi Padi. Ia menjelaskan, kekuatan ilmu kedaulatan pangan leluhur Nusantara tak bisa disamakan dengan konsep modern. Misalnya, pertanian digiring ke logika ekonomi untuk ketahanan pangan.“Kalau suplai pangan enggak cukup untuk makan orang-orang kota impor saja,” katanya. Menurut dia, cara pandang tersebut membuat pengetahuan tradisional menjadi terpinggirkan.“Kalau urusan tidak merusak alam, (folklor) Nusantara kita ini sudah lama ada (pengetahuan) agroekologi. Kata kuncinya, penting aktivitas budaya tertentu di masing-masing daerah ini,” kata Aji yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya itu.BRAM SETIAWANPilihan Editor: Ini Manfaat Dongeng untuk Anak

Tokoh

Partai

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi