Harga Gas Murah, Bukan Pendorong Utama Daya Saing Industri!

4 March 2024, 9:10

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah cukup jor-joran menyalurkan sejumlah insentif kepada sektor industri di dalam negeri. Salah satunya, memberlakukan kebijakan ‘harga gas murah’ melalui Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU.
Tercatat, ada tujuh sektor industri penikmat HGBT, antara lain industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet.
Niat dari kebijakan HGBT ini diharapkan bisa menciptakan dampak berganda (multiplier effect) kepada industri, baik dari sisi tenaga kerja, serta dapat meningkatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di satu sisi, pemerintah memastikan penyesuaian harga gas ini tidak akan mengurangi jatah bagi hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Sebab, pemerintah menanggung selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, tujuan pemerintah memberikan harga gas murah untuk industri sejatinya cukup bagus. Tapi, pemerintah juga perlu memperhatikan keberlangsungan industri lainnya.
“Kalau ini kan seolah-olah yang industri gas ini dikeluarkan dari kelompok industri. Padahal mereka juga industri. Jadi, beratnya lebih ke industri pengguna gasnya,” kata Komaidi kepada CNBC Indonesia, Kamis (29/2/2024).
Berdasarkan kajian dari ReforMiner Institute, biaya dan manfaat dari implementasi kebijakan HGBT relatif belum sesuai dengan perkiraan awal. Secara kumulatif, kehilangan penerimaan negara dari implementasi kebijakan HGBT selama 2020-2022 mencapai sekitar Rp 39,19 triliun.
Sementara, penghematan atau kompensasi penerimaan negara dari implementasi kebijakan HGBT pada masing-masing tahun anggaran dilaporkan masih jauh di bawah nilai kehilangan pendapatan negara dari adanya kebijakan tersebut.
Daya Saing Tak Ditentukan Harga Gas
Komaidi membeberkan, daya saing industri pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor tunggal seperti harga gas. Biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas juga ditentukan oleh 14 faktor lainnya.
“Daya saing industri itu faktornya ada sekitar 10-15 faktor. Nah salah satunya baru harga gas. Jadi artinya, harga gas itu komponen penentu daya saing tetapi bukan satu-satunya, ada 14 faktor yang lain,” ujarnya.
Sementara itu, porsi biaya penyediaan gas dalam struktur biaya produksi industri penerima HGBT bisa dikatakan bukan lah hal dominan. Misalnya saja, porsi biaya penyediaan gas dalam struktur biaya produksi untuk industri oleokimia adalah “hanya” sekitar 3,3%.
Kemudian, untuk industri sarung tangan dilaporkan berkisar 7%-14%, lalu porsi biaya penyediaan gas untuk industri kaca sekitar 16%.
Ia menilai, kebijakan HGBT berpotensi menjadi beban dan kontraproduktif terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang. Pasalnya, biaya fiskal dan ekonomi yang diperlukan untuk mempertahankan implementasi kebijakan HGBT cukup besar.
Menurut dia, kebijakan HGBT dapat menjadi penyebab utama industri hulu, tengah atau midstream, hingga hilir migas di dalam negeri tidak berkembang. Hal ini lantas berpotensi memicu terjadinya ketergantungan terhadap impor energi yang semakin membesar.
Di samping itu, implementasi kebijakan HGBT dalam jangka panjang juga dapat membuat pengembangan infrastruktur gas menjadi stagnan. Oleh sebab itu, Komaidi berharap agar harga gas tidak terus diintervensi.
“Kalau harganya terus dintervensi kemudian minat investornya tidak kunjung membaik, yang dikhawatirkan nanti seperti minyak, artinya industri minyaknya kan turun terus menerus. Dulu kita bisa produksi 1,6 juta barel per hari (bph), sekarang tinggal 600 ribu bph. Artinya sudah lost 1 juta bph dari awal masa kejayaan produksi,” kata Komaidi.
Tak Terserap 100%
Terpisah, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan, alokasi gas bumi dari tujuh sektor industri penerima HGBT hingga kini masih belum terserap sepenuhnya.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, serapan gas bumi dari sektor industri penerima HGBT sejatinya sudah mulai membaik pada tahun lalu. Meski demikian, realisasinya belum mencapai 100% dari alokasi yang ditetapkan pemerintah.
“Penyerapan 7 industri kami lihat secara umum sudah membaik di 2023, realisasinya di atas 90%. Kenapa tidak terserap 100%, ini sedang kita lakukan evaluasi, dan memang faktornya cukup banyak,” kata dia.
Kurnia menjelaskan, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat penyerapan gas penerima HGBT belum sepenuhnya. Pertama, faktor dari sisi hulu itu sendiri, di mana rencana-rencana produksi mengalami kendala operasional.
“Mengakibatkan ada alokasi yang sudah direncanakan dalam Kepmen (Keputusan Menteri), jadi ada sedikit fluktuasi kadang meningkat dan mungkin ada penurunan,” ujarnya.
Kedua, dari sisi midstream dan downstream, di mana terdapat beberapa industri yang belum mampu menyerap gas karena adanya kendala operasional atau karena adanya penghentian sementara untuk perawatan atau turn around. “Mungkin sedang shutdown sementara atau dapat alternatif energi, kami sedang lakukan pendalaman,” kata dia.
Pendapatan Negara Anjlok
SKK Migas bahkan mencatat, pemberian HGBT kepada 7 industri berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Potensi penurunan penerimaan negara dari harga gas US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri pada 2023 diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15,68 triliun (asumsi kurs Rp 15.680 per US$).
“Tentu saja secara otomatis berkurang, kalau nilainya saat ini sedang kita coba evaluasi dan kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di tahun 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$ 1 miliar,” kata Kurnia dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, Rabu (28/2/2024).
Kurnia mengatakan, potensi berkurangnya penerimaan negara atas adanya kebijakan HGBT tersebut masih sebatas angka sementara. Namun yang pasti, ia berharap penerimaan negara yang berkurang tersebut dapat dikompensasi dengan adanya peningkatan kinerja dan dampak berganda yang dirasakan oleh para industri penerima HGBT. “Ini sedang evaluasi untuk bisa nanti merumuskan kebijakan untuk melanjutkan HGBT ini ke depan,” ujarnya.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Kemenperin Desak Harga Gas Murah Buat Semua Industri, Ini Jawaban ESDM

(pgr/pgr)

Partai

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi