Guru Besar Hukum Universitas Jember: Ada Empat Potensi Masalah dalam RKUHAP

Guru Besar Hukum Universitas Jember: Ada Empat Potensi Masalah dalam RKUHAP

Jember (beritajatim.com) – Arief Amrullah, guru besar hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kabupaten Jember, Jawa Timur, menyebut empat potensi masalah dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

“RKUHAP harus menjadi solusi, bukan menambah masalah baru,” kata Arief Amrullah, dalam siaran pers, Senin (20/1/2025).

Potensi masalah pertama adalah kewenangan berlebihan bagi jaksa. Menurut Arief, sebagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 8 Ayat 5 disebutkan, bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, hingga penangkapan jaksa hanya dapat dilakukan dengan izin Jaksa Agung.

Arief menegaskan, aturan ini berpotensi memberikan kesan bahwa jaksa mempunyai kewenangan hukum yang lebih, sehingga pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

Potensi masalah kedua adalah penggunaan senjata api oleh jaksa pada pasal 8 huruf b. Penambahan kewenangan ini dinilai Arief berpotensi disalahgunakan tanpa pengawasan yang jelas. Ia mengingatkan, jaksa tidak memiliki keterampilan penggunaan senjata api sejak awal. “Hal ini perlu dipertimbangkan kembali,” katanya.

Ketiga, kewenangan penyadapan dan intelijen pada pasal 30 huruf b dan pasal 30 huruf c. Arief mengingatkan, penyadapan merupakan tindakan yang menyentuh privasi individu. “Tanpa pengawasan lembaga independen, kewenangan ini berpotensi disalahgunakan dan melanggar hak asasi manusia,” katanya.

Potensi masalah terakhir adalah sentralisasi kekuasaan pada jaksa agung sebagaimana tercantum pada Pasal 35 huruf g. Jaksa Agung berwenang mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dari awal hingga akhir.

Menurut Arief, hal ini bertentangan dengan prinsip checks and balances yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem hukum yang adil. Dengan prinsip dominuslitis yang berasal dari bahasa latin ‘tuan dari perkara’ harus dimaknai, bahwa jaksa memiliki kewenangan atas perkara. Namun ini tidak bisa dimaknai bahwa kejaksaan sebagai lembaga di atas lembaga yang lain. Arief ingin ada kesetaraan antar kuasa sebagai penuntut umum dengan penyidik lembaga kepolisian.

Lebih lanjut Arief ingin pembahasan RKUHAP berfokus pada reformasi sistem yang mampu menciptakan penegakan hukum yang lebih efektif, transparan, dan berkeadilan. Di sinilah perlu ada perwujudan keseimbangan kewenangan antarpenegak hukum untuk mencegah tumpang tindih.

Arief mengingatkan, esensi dari pembaruan acara umum pidana adalah perbaikan. Ketimpangan wewenang dalam perubahan RKUHAP justru akan menimbulkan permasalahan sistemik. Tak hanya itu. proses penegakan hukum akan terhambat dan akan memunculkan masalah serius.

Arief mengusulkan, agar proses penyidikan dan penuntutan saling terintegrasi. “Bukan menambah atau mengurangi kewenangan jaksa dan polisi yang mengakibatkan perselisihan sepihak,” katanya.

Aried menyerukan kepada semua penegak hukum untuk menghargai diferensiasi fungsional masing-masing. RKUHAP, menurutnya, harus menjadi momen penting untuk memperbaiki sistem hukum acara pidana di Indonesia.

“Kolaborasi antara penyidik dan jaksa harus lebih efektif, sehingga proses hukum berjalan cepat, transparan, dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata Arief. [wir]