Lumajang (beritajatim.com) – Gubuk reyot berdinding bambu dan beratap seng berlubang menjadi saksi bisu nestapa Jumadi (71) dan Rehan (7), sang cucu. Gubuk bekas pengolahan nira di Dusun Krajan, Desa Jugosari, Lumajang, itu menjadi tempat berlindung mereka selama 10 tahun terakhir.
Pondasi kayu lapuk dan atap bocor tak kuasa menahan derasnya hujan. Malam hari, kegelapan menyelimuti gubuk mereka karena tak ada lagi aliran listrik. Untuk air bersih, Jumadi harus berjalan kaki 1 kilometer ke hutan di belakang gubuk.
Gubuk ini dulunya milik almarhum Jumali, ayah Jumadi. Kini, Jumadi dan Rehan terpaksa tinggal di sana karena tak memiliki tempat lain.
“Dulu punya almarhum pak Jumali, lalu saya tinggali. Kalau hujan, ya bisa rembes karena bolong-bolong,” kata Jumadi, Minggu (31/3/2024).
Kesedihan tak berhenti di situ. Jumadi dan Rehan kerap dilanda kelaparan karena tak memiliki sumber penghasilan. Sesekali, mereka bergantung pada belas kasihan tetangga untuk mengisi perut.
Jumadi, yang dulunya bekerja sebagai penyadap nira, kini tak lagi mampu bekerja karena faktor usia. Sementara itu, Rehan masih berusia 7 tahun dan membutuhkan pendidikan untuk masa depannya.
Istri pertama Jumadi memiliki 3 anak yang sudah berumah tangga, namun mereka tak pernah membantu Jumadi dan Rehan. Istri kedua Jumadi meninggalkannya saat Rehan masih berusia 2 bulan.
“Punya 3 anak dari istri pertama. Tapi tidak pernah ke sini, jarang. Istri kedua (Sunarsih) juga begitu, saya ditinggal sejak Rehan ini umur 2 bulan. Tidak pernah lagi terlihat,” tutur Jumadi.
Kisah Jumadi dan Rehan adalah potret pilu kemiskinan dan kepedulian sosial yang minim. Bantuan dari pemerintah dan warga sangat dibutuhkan untuk meringankan beban mereka, terutama demi masa depan Rehan yang masih panjang.