Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Golput di Antara Teknologi dan "Choice Paradox" Nasional 30 November 2024

Golput di Antara Teknologi dan "Choice Paradox"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 November 2024

Golput di Antara Teknologi dan “Choice Paradox”
Penggiat teknologi informasi pemerhati isu-isu teknologi terkini. Meyakini teknologi informasi sebagai mesin penggerak perubahan. Mengeksplorasi dan memahami perkembangan teknologi terbaru serta dampaknya terhadap individu, masyarakat dan relasinya dalam kehidupan sehari-hari.
FENOMENA

golput
dalam
Pilkada
Jakarta 2024 menjadi sorotan penting setelah hasil yang menunjukkan angka golput tertinggi di Jawa.
Seperti yang dilansir dalam berita
Kompas.com
dua hari setelah Pilkada, banyak warga mengungkapkan beragam alasan atas rendahnya partisipasi pemilih ini.
Angka golput yang tinggi mencerminkan ketidakpercayaan terhadap calon pemimpin, serta mengungkapkan tantangan besar dalam sistem demokrasi kita yang semakin kompleks, melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan
teknologi
informasi.
Padahal, teknologi seharusnya menjadi alat untuk mendorong partisipasi politik yang lebih luas. Namun, kenyataannya malah memperburuk fenomena
choice paradox
dan apatisme politik yang meluas.
Choice paradox
pertama kali dikenalkan oleh Barry Schwartz, seorang psikolog dan profesor dari Swarthmore College.
Dalam bukunya “The Paradox of Choice: Why More is Less”, Schwartz menjelaskan bahwa meskipun lebih banyak pilihan sering dianggap sebagai sesuatu yang positif, kenyataannya, banyaknya pilihan justru dapat membuat seseorang merasa kewalahan, cemas, bahkan tidak puas dengan keputusan yang diambil.
Konsep ini awalnya diterapkan untuk menggambarkan perilaku konsumen. Namun seiring waktu, pemikiran ini juga digunakan untuk menjelaskan fenomena serupa di bidang lain, termasuk politik.
Pernyataan beberapa warga yang merasa memilih dalam pemilu itu “percuma” karena tidak ada perubahan yang dirasakan setelahnya, menggambarkan kekecewaan mendalam.
Pemimpin yang hanya hadir saat kampanye, tapi absen setelah terpilih memperburuk rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
Apalagi, dengan narasi-narasi di media sosial yang sering mengkritik calon pemimpin tanpa memberikan solusi konkret, masyarakat semakin merasa skeptis.
Di tengah derasnya arus teknologi yang membanjiri ruang-ruang publik, ekspektasi masyarakat terhadap pemimpin semakin tinggi.
Masyarakat menginginkan transparansi, komunikasi terus-menerus, dan bukti nyata dari hasil kerja pemimpin mereka.
Namun, ketika harapan-harapan tidak dipenuhi, teknologi malah menjadi alat yang memperburuk kekecewaan, memicu skeptisisme yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya partisipasi dalam pemilu.
Meski teknologi informasi mempermudah masyarakat mengakses berbagai informasi tentang calon pemimpin dan program-program mereka, kebanjiran informasi ini justru bisa memperburuk
choice paradox
.
Tanpa penyaringan yang jelas, pemilih bisa terjebak dalam kebingungan dan kecemasan karena terlalu banyak pilihan, baik positif maupun negatif.
Akhirnya, banyak yang memilih untuk golput, merasa bahwa pilihan apapun tidak akan membawa perubahan berarti.
Teknologi
juga belum mampu mengatasi masalah struktural yang menghalangi partisipasi aktif, seperti aksesibilitas yang terbatas bagi sebagian pemilih.
Pemilih dengan keterbatasan mobilitas atau yang terhalang oleh jadwal kerja sering kali tidak bisa mengakses tempat pemungutan suara.
Ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi dapat memperbesar partisipasi, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan.
Namun, jika dimanfaatkan dengan tepat, teknologi sebenarnya bisa membantu mengurangi angka golput. Misalnya, informasi mengenai calon pemimpin dan program mereka bisa disederhanakan dan disajikan dalam format yang mudah dipahami melalui platform digital.
Penyajian dalam bentuk infografis atau video singkat bisa menjadi solusi efektif untuk membantu pemilih memahami pilihan mereka tanpa merasa terbebani.
E-voting, misalnya, bisa memberikan kemudahan bagi pemilih yang kesulitan hadir di TPS. Teknologi seperti ini akan sangat relevan bagi mereka yang memiliki keterbatasan waktu atau akses.
Teknologi juga dapat memperkuat transparansi dalam pemilu. Dengan menggunakan sistem pengawasan berbasis teknologi seperti blockchain, integritas penghitungan suara bisa lebih terjamin, mengurangi keraguan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.
Namun, teknologi bukan hanya soal kemudahan proses, melainkan juga soal membangun hubungan jangka panjang antara pemimpin dan masyarakat.
Pemimpin harus memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk kampanye, tetapi juga untuk berkomunikasi secara terus-menerus dengan rakyat setelah terpilih.
Ini penting untuk membangun kepercayaan jangka panjang dan mengurangi rasa kecewa yang sering muncul akibat ketidakpastian setelah pemilu.
Fenomena golput pada Pilkada Jakarta 2024 menggambarkan betapa rumitnya hubungan antara kepercayaan publik, hambatan sistemik, dan dampak teknologi.
Tantangan-tantangan yang muncul, seperti
choice paradox
dan informasi berlebihan, dapat diatasi dengan pendekatan lebih strategis.
Memanfaatkan teknologi untuk menyederhanakan proses pemilu dan meningkatkan transparansi dapat memperbaiki sistem demokrasi dan meningkatkan partisipasi publik.
Ke depan, untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan, dibutuhkan sinergi antara teknologi, pemerintah, dan masyarakat.
Teknologi harus dimanfaatkan untuk memperkuat partisipasi, bukan justru memperburuk apatisme. Jika tidak, angka golput yang tinggi akan terus mengancam keberlanjutan demokrasi kita.
Seperti yang diungkapkan oleh Christian Lous Lange, “Teknologi adalah pelayan yang berguna tetapi tuan yang berbahaya.”
Jika kita tidak bijak dalam memanfaatkannya, maka teknologi bisa menjadi penghalang dalam memperkuat partisipasi politik dan demokrasi.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.