TRIBUNNEWS.COM – Israel dan Hamas dilaporkan sudah menyepakati perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada Minggu (19/1/2025) mendatang.
Izzat al-Risheq, anggota Biro Politik Hamas, mengatakan gencatan senjata itu memenuhi semua syarat yang diminta Hamas.
Syarat itu di antaranya penarikan mundur pasukan Israel sepenuhnya dari Gaza, pengembalian warga Gaza ke rumah masing-masing, dan mengakhiri perang di Gaza secara permanen.
“Pasukan pendudukan dibuat bertekuk lutut,” kata al-Risheq dalam pernyataannya, dikutip dari Al Jazeera.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah berbicara kepada Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, dan suksesornya, Donald Trump, perihal gencatan itu.
Kepada keduanya, Netanyahu berterima kasih karena telah membantu “mempercepat” kesepakatan gencatan dan upaya pembebasan warga Israel yang masih disandera Hamas di Gaza.
Kantor Netanyahu mengatakan orang nomor satu di Israel itu berkomitmen untuk memulangkan para sandera dengan cara apa pun.
Warga Palestina di Gaza di samping Tank Merkava Israel yang hangus dalam serangan Banjir Al-Aqsa Hamas pada 7 Oktober 2023. (Khaberni)
Hamas berterima kasih kepada Iran
Setelah gencatan senjata dengan Israel disepakati, Hamas mengucapkan terima kasih kepada Iran dan proksi-proksinya atas bantuan mereka selama ini.
Wakil Kepala Biro Politik Hamas, Khalil al-Hayya, mengucapkan terima kasih kepada Iran, Hizbullah, Angkatan Bersenjata Yaman, dan kelompok perlawanan di Irak.
Hayya memuji Hizbullah yang telah rela berkorban “ratusan syuhada, pemimpin, dan pejuang demi jalan pembebasan Al-Quds”.
Dia juga menyinggung serangan yang dilakukan Houthi dan para pejuang Irak untuk membalas operasi militer brutal Israel di Gaza dan Lebanon.
Lain daripada itu, dia berterima kasih kepada para pejuang Palestina di Tepi Barat yang masih diduduki Israel.
Hayya mengklaim Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilakukan Hamas adalah balasan atas pendudukan dan agresi Israel selama puluhan tahun di Palestina.
Menurutnya, operasi itu adalah titik penting dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina. Sayap militer Hamas, Brigade Al Qassam, telah melayangkan pukulan keras terhadap Israel dan hal itu akan tercatat dalam sejarah.
“Rakyat kami tidak akan melupakan siapa pun yang ikut serta dalam perang pembersihan itu. Kami tak akan lupa dan kami tak akan memaafkan,” katanya, dikutip dari Press TV.
Juru bicara Brigade Al Qassam, Abu Obeida, memuji kesabaran dan keteguhan pejuang Palestina dalam menghadapi Israel yang dibekingi AS.
“Semoga damai menyertai jiwa-jiwa syuhada kami, anak-anak kami yang tidak berdosa, dan para rakyat kami yang tertindas,” kata Obeida.
Tank Pasukan Israel di wilayah Gaza Utara dalam operasi militer darat di wilayah kantung Palestina tersebut. (Khaberni)
Jihad Islam Palestina, salah satu kelompok perjuangan di Gaza, juga menyambut baik kesepakatan gencatan senjata.
“Saat ini rakyat kita dan [kelompol] perjuangan mereka memaksakan perjanjian terhormat untuk menghentikan agresi, menarik mundur [pasukan Israel], dan melakukan pertukaran sandera, berkat keteguhan legendaris mereka dan para pejuang mereka yang gagah berani,” kata kelompok itu.
Adapun Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) menyebut gencatan senjata itu sebagai “kemenangan Gaza atas genosida”.
Sama seperti PFLP, Gerakan Mujahidin Palestina memuji kemenangan Palestina atas rezim “Zionis Nazi Israel” yang didukung oleh pemerintah AS.
“Rakyat kita dan perlawanan mereka di Gaza telah mengamankan perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tawanan, mencegah rencana musuh untuk menghentikan dan menyingkirkan perlawanan,” kata gerakan itu.
Gerakan tersebut juga mengklaim sukses mempermalukan Israel, menghancurkan kesombongannya, dan menimbulkan kekalahan beruntun yang tak bisa disembunyikan.
(*)