Jakarta –
Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab) Indonesia mengeluhkan masih adanya sejumlah transaksi pengadaan alat kesehatan (alkes) yang dibeli pemerintah, tetapi tak kunjung dibayar. Total nilai tunggakan disebut mencapai Rp 78 miliar dan telah berlangsung hingga bertahun-tahun.
Ketua Umum Gakeslab Indonesia, Rd Kartono Dwidjosewojo menyebut hal ini didapat dari hasil survei internal Gakeslab terhadap perusahaan anggota. Sedikitnya ada 165 transaksi pengadaan alkes oleh rumah sakit umum daerah (RSUD) dan dinas kesehatan yang belum dibayar.
“Hasil survei singkat kami mendapati terdapat 165 transaksi pengadaan alat kesehatan yang dibeli oleh pemerintah, baik RSUD maupun dinas kesehatan, dengan total nominal sebesar Rp 78 miliar yang belum mendapat pembayaran. Lamanya tunggakan bervariasi, mulai dari enam bulan hingga empat tahun,” kata Kartono dalam konferensi pers Rabu (5/11/2025).
Ia mengklaim kondisi ini memperparah beban industri alkes nasional yang disebutnya tengah menghadapi tekanan akibat kebijakan pengadaan pemerintah yang tersentralisasi di tingkat pusat, baik melalui skema pengadaan konsolidasi maupun program pinjaman luar negeri.
Menurutnya, kebijakan tersebut membuat pelaku usaha alat kesehatan di daerah semakin sulit bersaing, karena proses pengadaan tidak lagi mempertimbangkan kapasitas dan potensi penyedia lokal.
“Tantangan industri alat kesehatan ini bertambah berat dengan adanya kebijakan pengadaan pemerintah yang tersentralisasi di pusat. Prinsip kesetaraan berusaha, khususnya bagi perusahaan penyedia alat kesehatan di daerah, menjadi sangat sulit keberlangsungannya,” katanya.
Dari survei yang sama, Gakeslab juga menemukan sebagian besar anggotanya mengalami penurunan nilai penjualan dalam negeri hingga lebih dari 25 persen, terutama karena penurunan permintaan dari sektor pemerintah, di tengah efisiensi.
Penurunan pesanan ini menyebabkan utilisasi kapasitas produksi menurun dan sejumlah perusahaan terpaksa mengurangi tenaga kerja antara 10 hingga 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
“Penurunan utilisasi kapasitas akibat sepinya order dari pemerintah membuat banyak perusahaan harus melakukan efisiensi, termasuk memangkas tenaga kerja,” sesal Kartono.
Ia menilai, peluang bagi industri alat kesehatan dalam negeri dikhawatirkan semakin tergerus, baik dampak dari adanya perubahan regulasi yang cepat, serta lambatnya pembayaran dari instansi pemerintah yang memperburuk arus kas perusahaan.
“Beberapa perusahaan di berbagai daerah bahkan terancam kolaps. Jika kolaps, tentu jalur distribusi ke daerah juga mulai terganggu,” kata Kartono menambahkan.
Halaman 2 dari 2
(naf/naf)
