Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan Nasional 15 September 2025

Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 September 2025

Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan
Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
MUAZIN
muda Sukidi Mulyadi, lulusan Harvard University, memilih jalan sunyi. Bukan menjadi pengusaha, bukan membangun start-up, bukan pula menjadi elite ormas.
Ia memilih menulis, berceramah, dan mengingatkan bangsa melalui refleksi moral. Esai-esainya—
Pinokio Jawa, Machiavelli Jawa, Hitler Jawa
—menyentil nurani publik. Dan, viral.
Dalam tulisannya di Harian
Kompas
(11 September 2025), ia menulis: “Ketika saluran perubahan formal tidak berfungsi lagi dan aspirasi bersama tidak didengarkan sama sekali, akhirnya rakyat turun ke jalan-jalan sebagai bentuk perlawanan politik.”
Kegelisahan Sukidi adalah kegelisahan kita semua. Ia mewakili suara batin yang jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk politik dan prahara Agustus 2025.
Dalam esainya di
Kompas
, Sukidi menulis, “Simaklah wahai para pengurus negara, fenomena perlawanan politik dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang. Rakyat tidak percaya dengan yang pemerintah katakan dengan efisiensi karena melihat langsung pemerintahan yang besar yang tidak efisien dan efektif.”
Sukidi menyebut, “pengurus negara”. Gagasan itu diambil dari Pidato Mohammad Hatta, 15 Juli 1945. Yang digagas Hatta dan para pendiri bangsa adalah negara pengurus, bukan negara kekuasaan.
Pengertian pengurus negara adalah orang yang mengurusi negara dengan segala kebutuhan warga negara yang telah membayar pajak.
Terminologi pengurus amat beda dengan pemimpin atau penguasa. Pemimpin seakan menempatkan ada yang memimpin dan rakyat yang dipimpim. Apalagi termonologi penguasa, di mana penguasa menguasasi rakyat yang dikuasasi. Tidak demikian adanya.
Dalam perspektif Gramsci, Sukidi adalah intelektual sejati bukan sekadar akademisi, melainkan mereka yang mengartikulasikan aspirasi dan kegelisahan rakyat.
Sukidi memilih “jalan sunyi” sebagai penulis dan penceramah moral. Ia tidak masuk dalam struktur formal (partai, ormas, birokrasi), tetapi justru menjadi intelektual organik yang menyuarakan keresahan rakyat.
Esainya mengkritik disfungsi saluran formal demokrasi, dan membuka ruang kesadaran bahwa perlawanan politik bisa sah sebagai ekspresi rakyat. Ini adalah upaya membentuk
counter-hegemony
terhadap narasi resmi negara.
Prahara Agustus 2025 membuka mata betapa lumpuhnya pranata demokrasi kita. Partai politik, DPR, DPD, bahkan ormas besar seolah menghilang.
Padahal, negara sudah mengalokasikan anggaran yang besar berdasarkan RAPBN 2026: DPR Rp 9,9 triliun, DPD Rp 1,8 triliun, MPR Rp 1,05 triliun. Besarnya anggaran ternyata tidak berbanding lurus dengan keberanian untuk menemui rakyat.
Wajar jika rakyat marah dan melampiaskan kemarahan dengan caranya sendiri, turun ke jalan.
DPR atau DPRD memilih diam ketika pajak rakyat dinaikkan oleh pengurus negara, baik di pusat maupun di daerah.
 
Rakyat marah menyaksikan drama permainan hukum. Aktivis ditangkap karena menyalurkan aspirasi, sementara elite politik atau jenderal polisi berbintang tiga berstatus tersangka, tapi perkaranya tak jelasnya prosesnya.
Seorang terpidana yang seharusnya dieksekusi malah dihadiahi jabatan komisaris BUMN. Itu kesalahan pengurus negara.
Fenomena ini dapat dibaca melalui teori cartel party Katz & Mair: partai politik yang seharusnya menjadi penghubung rakyat justru membentuk kartel kekuasaan, hidup dari sumber daya negara, dan semakin jauh dari basis sosialnya.
Lalu,
state capture
memperlihatkan bahwa institusi demokrasi sudah disandera oleh elite—fungsi representasi hanyalah formalitas.
Dalam
delegative democracy
ala Guillermo O’Donnell, rakyat seolah memberi mandat total kepada presiden, sementara DPR dan DPD tereduksi jadi pelengkap prosedural.
Semua teori itu bertemu dalam kenyataan: rakyat kehilangan saluran aspirasi, dan jalan terakhir adalah turun ke jalan.
Di sinilah relevansi Bung Hatta kembali hidup. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), (15 Juli 1945), ia berkata: “Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus.”
Pesan Hatta adalah kompas moral. Negara pengurus artinya negara yang hadir untuk mengurus rakyatnya, bukan mengurus keluarga, kelompok, atau oligarki.
Dengan memegang prinsip kesetaraan, selayaknya istilah “pengurus negara” lebih tepat dibandingkan pemimpin negara.
Pemimpin mengasumsikan bahwa rakyat dipimpin oleh pemimpin dengan kelas yang lebih tinggi. Istilah “pengurus negara” adalah mandat yang diberikan rakyat (pembayar pajak) untuk mengurusi segala kebutuhan negara dan masyarakat.
Dalam MemoBDM saya menawarkan tiga hal:
Pertama, repolitisasi masyarakat sipil. Suara kegelisahan moral dari intelektual, tokoh agama, akademisi harus dirajut menjadi kekuatan politik alternatif.
Pada era Gus Dur, pernah ada lembaga bernama Forum Demokrasi atau Liga Demokrasi. Kekuatan masyarakat sipil memang harus dikonsolidasikan menjadi kekuatan politik alternatif di tengah disfungsi pranata demokrasi.
Kedua, reformasi partai politik. Kartelisasi hanya bisa diputus dengan pembatasan rangkap jabatan, transparansi dana politik, dan mekanisme kontrol publik yang nyata.
Dalam reformasi partai politik dan DPR perlu dipikirkan RUU Pemerintahan Nasional atau RUU Kepresidenan. Menjadi kenyataan, satu-satunya lembaga negara yang tidak punya undang-undang adalah Lembaga Kepresidenan.
Jika pemerintah daerah punya UU Pemerintahan Daerah, mengapa tidak ada UU Pemerintahan Nasional?
Ketiga, restorasi amanah rakyat. Elite harus sadar bahwa mandat pemilu bukanlah cek kosong, melainkan janji untuk mengurus rakyat, bukan kerabat atau kroni.
Rakyat pun masih belum lupa tema yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran adalah keberlanjutan. Sementara Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai simbol perubahan.
Adapun Gandjar Pranowo-Mahfud MD mengusung keberlanjutan dan koreksi. Kini setelah pemerintahan Prabowo berjalan sepuluh bulan, apa makna kampanye “keberlanjutan” yang digaungkan pada masa kampanye? Lalu, apa artinya janji kampanye?
Prahara Agustus adalah alarm keras. Prahara Agustus adalah
wake up call
, kata Anggota Forum Warga Negara, Chandra Hamzah dan Sudirman Said dan diserukan kembali oleh Mulya Lubis.
Jika elite tetap tak mendengar, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri. Jalan kembali ke negara pengurus bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan keharusan sejarah.
Bung Hatta sudah meletakkan fondasinya; kini kita menunggu, adakah pengurus negara yang berani menapakinya kembali?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.