Frekuensi 2,6 GHz Tepat untuk Percepatan 5G di Indonesia

Frekuensi 2,6 GHz Tepat untuk Percepatan 5G di Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi menilai pita frekuensi 2,6 GHz menjadi salah satu kandidat menarik untuk mendukung percepatan jaringan 5G di Indonesia yang saat ini penetrasinya masih rendah. 

Data ATSI menyebut penetrasi 4G sudah di atas 97% dari total pemukiman Indonesia. Sementara 5G masih 4,4%. 

Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi, Ian Yosef M. Edward, mengatakan frekuensi yang tepat untuk diterapkan saat ini adalah 2,6 GHz karena sudah siap pakai.

Di luar 2,6 GHz terdapat pita 3,5 GHz. Namun pita tengah 3,5 GHz masih digunakan oleh pemain satelit. Sementara 2,6 GHz sudah kosong sejak 11 bulan lalu. 

“Frekuensi yang baik untuk kita ini, jadi 2,6. Ya, soalnya yang sekarang ini sudah dibebaskan oleh Indonesia. Sebelumnya, frekuensi 2,6 dipakai oleh satelit dan TV berbayar. Sekarang sudah bebas, sudah kosong, sejak Januari 2025,” ujar Ian dalam acara Bisnis Indonesia Forum dengan tema Menanti Frekuensi Baru Demi Akselerasi Digital dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Selasa (23/12/2025).

Ian juga menegaskan ekosistem frekuensi ini sudah matang. Banyak perangkat jaringan maupun ponsel yang mendukung, selain itu biaya pembangunan dan perangkat juga lebih murah.

Frekuensi 2,6 GHz tidak memerlukan relokasi besar-besaran dan cocok untuk wilayah Indonesia saat ini. 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang membutuhkan pemerataan jaringan, sehingga frekuensi 2,6 GHz terlihat lebih realistis untuk percepatan 5G.

Frekuensi 3,5 GHz juga menjadi angin segar bagi Indonesia. Frekuensi ini dinilai memiliki banyak keunggulan, tetapi Ian beranggapan Indonesia belum cukup siap untuk menerapkannya.

“Secara teknologi, kemudian juga dari sisi keberlangsungan perangkat, kalau di 3,5 jumlahnya lebih banyak lagi. Namun, di Indonesia itu masih ada banyak masalah,” kata Ian.

Secara global, frekuensi 3,5 GHz telah menjadi band utama untuk pengembangan jaringan 5G karena mampu menyediakan bandwidth besar, bahkan hingga 300 MHz di Indonesia. Dengan kapasitas tersebut, jaringan 5G dapat bekerja lebih cepat dan stabil.

Namun, di Indonesia, frekuensi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena masih digunakan untuk keperluan lain, seperti SDC band. Akibatnya, frekuensi 3,5 GHz belum sepenuhnya siap digunakan sebagai tulang punggung 5G di Indonesia.

Selain itu, Ian juga menyoroti masalah harga frekuensi di Indonesia yang dinilai masih tidak logis dan terlalu mahal. Teknologi yang sebenarnya sudah semakin efisien dan digunakan secara massal justru dihitung dengan nilai lebih tinggi. Padahal, secara prinsip, semakin efisien dan matang suatu teknologi, seharusnya biaya yang dikenakan juga semakin murah.

“Tapi teknologi tadi, cara menghitungnya agak berbeda. Kalau sudah banyak di pasaran gitu, yang baru dan selanjutnya akan lebih mahal. Seharusnya tidak begitu. Kalau saya bilang, teknologi itu kalau bandwidth-nya makin efisien, harusnya makin murah,” ujarnya.

Sistem penilaian yang digunakan saat ini, seperti NIKTB, dinilai belum berpihak pada dampak sosial dan manfaat langsung bagi masyarakat. Penentuan harga frekuensi masih lebih berfokus pada peningkatan pendapatan negara, bukan pada fungsi frekuensi sebagai aset publik yang seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan konektivitas nasional.

Masalah lain yang turut disoroti adalah kurangnya insentif bagi operator telekomunikasi. Operator yang telah membangun jaringan secara luas, bahkan hingga mencakup 80–90 persen wilayah, tidak memperoleh keuntungan tambahan atau perlakuan khusus.

Padahal, pembangunan jaringan yang lebih merata membutuhkan investasi besar dan berisiko tinggi. Minimnya insentif ini berpotensi menghambat pemerataan jaringan, terutama di wilayah yang secara ekonomi kurang menguntungkan.

Ian menegaskan, kebijakan pengelolaan frekuensi masih perlu diarahkan kembali pada tujuan sosial telekomunikasi. Frekuensi seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan, memperluas akses, dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat, bukan semata-mata sebagai sumber penerimaan negara.(Nur Amalina)