Jember (beritajatim.com) – Forum Komunikasi Jember Online Bersatu (FKJOB) mendesak Pemerintah Kabupaten Jember, Jawa Timur, menerbitkan peraturan daerah khusus ojek dalam jaringan (online) atau ojol.
Desakan ini disampaikan perwakilan FKJOB saat bertemu dengan Wakil Bupati Djoko Susanto di Kantor Pemkab Jember, Selasa (20/5/2025).”Kami berharap ada terobosan-terobosan ekstrem,” kata Fandi, salah satu perwakilan.
Persoalan yang dihadapi pengemudi ojol tak pernah selesai selama tiga kepemimpinan bupati dan DPRD Jember. Fandi menyebut, belum ada regulasi daerah yang berpihak dan melindungi para pengemudi ojol.
Padahal, menurut Fandi, pemerintah daerah di Yogyakarta dan Bali telah menerbitkan peraturan daerah yang melindungi pengemudi. “Jadi, orang luar daerah tidak boleh bekerja, hanya yang ber-KTP Bali. Termasuk juga unit kendaraannya harus plat nomor DK. Tujuannya jelas: pajak berputar di Bali sendiri,” katanya.
Ada kurang lebih 10 ribu ojol beroperasi di Jember. Namun aplikator terus membuka lowongan pengemudi roda dua dan roda empat. “Jumlahnya terus bertambah. Kuenya tetap, satu piring, Semutnya tiga ton. Klenger kita di jalan,” kata Fandi.
“Sekarang Anda bayar Rp 10 ribu ke aplikator, yang masuk ke pengemudi roda dua hanya Rp 5 ribu. Bensin satu liter sudah Rp 10 ribu. Tapi kalau orderan enggak diambil, pengemudi ojol mau makan apa,” kata Fandi.
FKJOB sudah menyuarakan perlunya perda selama satu windu terakhir di forum-forum resmi. Namun Pemkab Jember tidak pernah memberikan jawaban memuaskan,
“Butuh research and development, butuh persiapan-persiapan. Ini sudah delapan tahun. Mungkin anggota Dewan juga sudah ada yang ganti. Kepala daerah pun kita sudah melewati tiga kali. Tapi tidak pernah ada yang menyetuh kami,” kata Fandi.
“Kami ingin punya pimpinan yang punya jiwa agak ekstrem sedikit, bisa membela grass root. Tanpa itu, Pak, kami ini sudah mati di jalan. Kami enggak punya pilihan lain. Ojol adalah pilihan terakhir dalam kami mencari mata pencarian,” kata Fandi.
FKJOB lantas menyerahkan kajian terhadap praktik ojol di Jember kepada Wakil Bupati Djoko Susanto dan perwakilan DPRD Jember Muhammad Ahmad Birbik Munajil Hayat, untuk dijadikan masukan pembuatan perda.
“Ini kami menyerahkan kajian-kajian kami. Kami tidak mau menang sendiri. Kalau nanti ini dibahas lebih detail, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) didatangkan, aplikator didatangkan. Kami maunya ada bentuk perda seperti organda. Jadi ada tarif batas bawah, batas atas,” kata Fandi.
Yusuf Rangkuti, perwakilan ojol roda empat, menceritakan nasibnya selama ini. “Kami para driver belum tentu bawa uang Rp 50ribu per hari. Bisa dibayangkan. Kalau seandainya hanya Rp 20 ribu per hari, belum beli bensin, belum beli kopi di warung. Apa yang kita bawa pulang? Bagaimana rakyat Jember ini bisa makmur?” katanya.
Eko Prihastomo, pengemudi ojol roda dua, mendesak agar ada regulasi daerah yang mengharuskan aplikator memiliki kantor cabang di Jember. “Wajibkan mereka di sini, supaya kita tidak pusing,” katanya.
Merespons masukan FKJOB, Kepala Dinas Perhubungan Jember Agus Wijaya mengatakan, Gubernur telah mengeluarkan keputusan nomor 188/290/Kpts/013/2023 tentang tarif angkutan sewa khusus di Provinsi Jawa Timur yang mengatur batas bawah dan atas angkutan sewa khusus.
Gubernur juga menerbitkan keputusan nomor 188/291/Kpts/013 Tahun 2023 tentang pelaksanaan pengawasan biaya jasa penggunaan sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi di Provinsi Jawa Timur, yang mengatur batas bawah dan atas biaya jasa sepeda motor.
“Bupati pada 2023 juga sudah melaporkan kepada Ibu Gubernur, bahwa SK Gubernur ini tidak berjalan dan tidak diterapkan aplikator. Kami dari Dinas Perhubungan juga sudah membuat surat dari tidak lanjut Bupati Jember pada 2023 kepada Kepala Dinas Perhubungan Provinsi,” kata Agus.
Dishub Jember sudah meminta agar aplikator memiliki perwakilan setempat. “Tapi ini juga tidak berjalan. Jadi letak permasalahan yang sekarang ini adalah aplikator. Aplikator ini bukan hanya di Jember, hampir seluruh provinsi,” kata Agus.
Izin aplikator ada di tangan Kementerian Komunikasi dan Informasi. “Kita sudah membuat aturan-aturan, kita sudah mengawasi dan melapor sesuai aturan kepada pemerintah provinsi dan pusat,” kata Agus. [wir]
