Fakta-fakta Layanan SPA, Bukan Lagi Hiburan Tapi Jasa Kesehatan Tradisional Fakta-fakta Layanan SPA, Bukan Lagi Hiburan Tapi Jasa Kesehatan Tradisional

Fakta-fakta Layanan SPA, Bukan Lagi Hiburan Tapi Jasa Kesehatan Tradisional    
        Fakta-fakta Layanan SPA, Bukan Lagi Hiburan Tapi Jasa Kesehatan Tradisional

Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 yang meminta agar SPA tidak lagi dimasukkan ke dalam kategori hiburan seperti halnya diskotek atau karaoke. Keputusan ini menjadikan layanan SPA merupakan termasuk kesehatan tradisional.

Dalam permohonannya, para penggugat yang tergabung dalam Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) meminta kepada MK untuk mengubah pasal 55 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam pasal tersebut, spa dan mandi uap disamakan dengan layanan hiburan seperti halnya diskotek, karaoke, hingga klub malam.

Perubahan ini diharapkan tidak hanya mengikis stigma negatif, tetapi juga berdampak positif dari sisi bisnis. Ketua Umum ASPI dr Lianiwai Batihalim, MS, SpOk, M.Biomed mengatakan perubahan tersebut akan berdampak pada pajak yang dikenakan pada bisnis SPA di Indonesia.

“Pajaknya harus dipertimbangkan, karena kesehatan punya regulasi sendiri, ini kesehatan tradisional lagi,” kata dr Lianiwai.

Ketua I ASPI Mohammad Asyhadi dalam waktu dekat akan mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo, usai MK memutuskan SPA tidak masuk ke dalam jasa hiburan. Pasalnya, banyak usaha SPA yang saat ini mendapatkan besaran pajak yang berbeda-beda sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) masing-masing.

“Kemarin yang jelas sudah selesai suratnya, tinggal teknik pengiriman. Belum (dikirim), tapi saya sampaikan ke lawyer agar segera dikirim (ke Presiden),” kata Asyhadi dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2024).

“Masih bervariasi, ada yang HKPD karena mengikuti Surat Edaran Kemendagri. Perusahaan besar yang PKP itu 11 persen mengikuti PPN. Saya dapat laporan di Bali, Januari sudah kena 40 persen nih,” lanjut dia.

ASPI sendiri mendorong pemerintah untuk cepat mengambil keputusan terkait besaran pajak usaha SPA di Indonesia setelah terbitnya putusan MK. Hal ini agar tidak terjadi kebingungan di antara Pemerintah Daerah dan para pelaku usaha.

Usaha SPA Sempat Terancam Gulung Tikar

Ketua II ASPI Bidang Pendidikan, Pelatihan, Sertifikasi Usaha dan Kompetensi Wulan Maharani Tilaar, BFA, MSc mengatakan selama 2024 ada usaha SPA yang mengirimkan surat ke ASPI karena terancam gulung tikar. Hal ini karena besaran tarif pajak sebelumnya mencapai 40-70 persen.

“Imbasnya banyak dan panjang. Sangat berdampak kepada tamu kami yang mengeluhkan besaran biaya yang mereka harus keluarkan untuk perawatan. Secara operasional itu tidak mungkin masuk ke operasional,” kata Wulan.

“Satu cabang di Ciawi dikenakan pajak sampai 50 persen, Pangkalan Bun itu sampai 75 persen, Palembang 40 persen, Pontianak 40 persen, dan Bengkulu 40 persen,” sambungnya.

ASPI Bakal Berikan Pendampingan Terkait Standarisasi

Setelah keputusan MK tersebut, ASPI akan lebih aktif membantu para terapis untuk bisa mendapatkan Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT). Selain itu, lanjut Wulan, ASPI akan melakukan sosialisasi kepada industri agar menerapkan standarisasi terkait pelayanan.

“Kami akan fokus ke kegiatan sosialisasi agar melakukan program standarisasi dan sertifikasi sesuai Permenpar Nomor 4 Tahun 2021 dan Permenkes Nomor 8 Tahun 2014. Agar memiliki sertifikasi usaha Tirta I, Tirta II, dan Tirta III,” kata Wulan.

NEXT: Stigma negatif layanan SPA

Simak Video “Cara Sederhana untuk Miliki Kualitas Tidur yang Sempurna”
[Gambas:Video 20detik]