Era AI dan Tantangan Bisnis di Indonesia

Era AI dan Tantangan Bisnis di Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, dunia bisnis Indonesia menghadapi percepatan teknologi yang tidak dapat lagi diabaikan. Prediksi Goldman Sachs (2025) mengenai potensi gelombang pengurangan tenaga kerja akibat artificial intelligence (AI) memang menimbulkan kekhawatiran, tetapi bagi para pemimpin perusahaan, isu ini seharusnya dibaca sebagai momentum untuk meninjau kembali arah bisnis dan kesiapan organisasi.

Kita memasuki fase di mana kemampuan membaca tanda-tanda zaman menjadi sama pentingnya dengan kemampuan mengelola operasi. Perusahaan tidak lagi cukup hanya efisien; mereka harus adaptif, presisi, dan bergerak dengan kecepatan yang sejalan dengan perubahan teknologi.

Klaus Schwab, melalui konsep Fourth Industrial Revolution, mengingatkan bahwa teknologi bukan lagi sekadar elemen pendukung operasional, tetapi faktor struktural yang membentuk lanskap kompetisi. Namun kenyataannya, banyak organisasi masih menempatkan teknologi sebagai alat, bukan sebagai bagian dari strategi inti.

Situasi ini menyebabkan perusahaan hanya memperbaiki permukaan, tetapi tidak mengubah fondasi. Padahal, dalam era yang penuh ketidakpastian, ketepatan membaca arah perubahan menentukan keberlanjutan perusahaan.

Evolusi Pemikiran Digital: Dari Perubahan Bentuk ke Perubahan Logika

Para pemikir seperti Yoo et al. (2010) telah membedakan secara jelas antara digitizing dan digitalization: yang pertama hanya memindahkan bentuk analog menjadi digital, sementara yang kedua mengubah proses dan logika organisasi.

Digital transformation, sebagaimana dijelaskan oleh Westerman, McAfee, dan Brynjolfsson (MIT, 2014), merupakan fase ketika teknologi bukan lagi pelengkap, tetapi menjadi pusat strategi perusahaan. Perusahaan yang berhasil bertransformasi adalah perusahaan yang memahami bahwa teknologi membentuk cara baru untuk menciptakan dan menangkap nilai.

Memasuki era AI, Soni (2019), Holmström (2021), dan Davenport (2018) menekankan bahwa AI membawa perubahan yang jauh lebih mendasar. AI tidak hanya melakukan otomatisasi; ia menjadi cognitive enabler yang memperluas kemampuan organisasi menganalisis, memahami pola, dan mengambil keputusan.

Dengan kata lain, AI mengubah cara perusahaan berpikir, bekerja, dan berkompetisi. Bagi perusahaan Indonesia, ini berarti membangun kemampuan baru yang lebih dalam daripada sekadar membeli teknologi.

Tiga Fondasi Strategis di Era AI

Pertama, Data Advantage. Keunggulan bersaing hari ini bertumpu pada kualitas data. Bukan sekadar banyaknya data, tetapi kemampuan organisasi mengumpulkan, membersihkan, menghubungkan, dan menggunakan data untuk pengambilan keputusan.

Davenport serta Brynjolfsson & McAfee menegaskan bahwa tanpa fondasi data yang kuat, AI tidak akan memberikan nilai strategis. Data bukan hanya aset, melainkan sumber augmented intelligence. Perusahaan yang menunda membangun fondasi data akan tertinggal jauh.

Kedua, Network Effects. Ekonomi digital dibangun di atas logika jaringan. Nilai perusahaan meningkat seiring bertambahnya pengguna dan interaksi. Parker dan Van Alstyne menyebutnya sebagai “mesin pertumbuhan eksponensial.” AI pun bekerja dalam logika yang sama: semakin banyak input, semakin tajam kemampuan analitisnya.

Pemimpin bisnis perlu memahami ini, karena network effects menjadi pengungkit pertumbuhan yang tidak mungkin dicapai oleh model linear tradisional. Keunggulan kompetitif hari ini bukan hanya soal produk, tetapi soal jejaring.

Ketiga, Ecosystem Power. Menurut Richard Adner, keberhasilan inovasi tidak ditentukan hanya oleh kompetensi internal, tetapi oleh kemampuan perusahaan mengorkestrasi kolaborasi lintas pihak.

Pemenang masa depan bukan lagi perusahaan yang paling kuat secara individual, tetapi perusahaan yang mampu menjadi pusat gravitasi dalam sebuah ekosistem. Dalam konteks Indonesia, kemampuan menghubungkan mitra, pelanggan, regulator, dan teknologi menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi.

Pergeseran Pola Pikir Pemimpin: Dari Alat ke Arah Strategis

Di tengah perubahan besar ini, pemimpin perusahaan dituntut meninggalkan pemikiran lama yang melihat teknologi hanya sebagai alat efisiensi. Era AI memerlukan pemimpin yang mengintegrasikan teknologi ke dalam inti strategi yang dimulai dari perumusan visi, pemetaan model bisnis, penataan struktur organisasi, hingga pola pengambilan keputusan.

Pertanyaan kunci bagi pemimpin hari ini bukan lagi “teknologi apa yang harus dibeli,” tetapi “bagaimana teknologi mengubah model bisnis saya?”

Era AI tidak bergerak pelan dan bertahap. Ia bersifat eksponensial. Menunggu hingga semuanya jelas justru membuat perusahaan kehilangan momentum. Transformasi bukan lagi pilihan tambahan; ia adalah keharusan strategis. Organisasi yang mampu bergerak cepat akan memimpin. Yang ragu-ragu akan tertinggal. Keberanian untuk melakukan lompatan menjadi kunci.

Inilah waktu bagi para pemimpin perusahaan Indonesia untuk bergerak dan berani berpikir lebih jauh, berinovasi lebih berani, dan berkolaborasi lebih luas. Karena masa depan tidak menunggu untuk terjadi; masa depan harus dipimpin agar terwujud.

Di tengah derasnya teknologi dan melimpahnya data, kita diingatkan oleh kerangka DIKW dari Russell Ackoff bahwa data, informasi, dan pengetahuan hanya menjadi keputusan yang benar ketika dipadukan dengan wisdom dan discernment.

Di sinilah pemimpin tetap membutuhkan hikmat Tuhan agar setiap langkah bisnis tidak hanya cerdas, tetapi juga membawa kebaikan bagi manusia dan masa depan Indonesia yang sedang kita bangun bersama.