Surabaya (beritajatim.com) – Majelis hakim yang diketuai Mochamad Arif Satiyo Widodo menjatuhkan hukuman satu bulan penjara kepada enam WNA Bangladesh dalam sidang pidana singkat di Surabaya.
Para terdakwa tersebut adalah Mohammad Yusuf, Sajedur Rahman, MD Murad, MD Naeem, MD Wahidnur, dan MD Sakim Hossen. Mereka dinyatakan bersalah melanggar keimigrasian karena berada di Indonesia tanpa dokumen perjalanan maupun izin tinggal, sebagaimana diatur dalam pasal 116 jo pasal 71 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Galih Riana Putra Intara membacakan dakwaan, kemudian langsung masuk ke tahap pemeriksaan saksi dan terdakwa sesuai tata urutan sidang pidana singkat.
Setelah pemeriksaan, persidangan dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan. JPU Galih meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman dua bulan penjara karena para terdakwa terbukti melakukan tindak pidana keimigrasian sebagaimana pasal yang didakwakan.
Namun, majelis hakim memutuskan hukuman lebih ringan, yakni satu bulan penjara. Baik para terdakwa maupun JPU Galih langsung menerima putusan tersebut. “Terima putusan,” kata JPU Galih.
Setelah sidang, JPU Galih menjelaskan bahwa tuntutan dua bulan sudah disesuaikan dengan ancaman maksimal pasal 116 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang hanya tiga bulan kurungan.
“Kami ajukan tuntutan 2 bulan karena ancaman hukuman maksimalnya hanya 3 bulan kurungan, sesuai pasal 116 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,” tegasnya.
Dalam dakwaan dipaparkan, perkara ini berawal dari laporan Satpol PP Kecamatan Sawahan mengenai keberadaan enam WNA Bangladesh yang menginap di Masjid At Thoiriyah tanpa dokumen identitas maupun bekal yang memadai.
Menindaklanjuti laporan tersebut, saksi Achmad Waqot bersama tim dari Kantor Kesbangpol Kota Surabaya melakukan pengamanan dan membawa para WNA tersebut ke UPTD Lingkungan Pondok Sosial Surabaya.
Tim Kesbangpol kemudian berkoordinasi dengan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Surabaya untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saksi Caesar Ardian Oktawa bersama tim intelijen imigrasi meminta para WNA menunjukkan paspor, visa, atau izin tinggal, namun tidak satu pun yang dapat menunjukkan dokumen perjalanan asli.
Dalam pemeriksaan terungkap bahwa mereka tidak memiliki dokumen resmi, mengaku meninggalkan dokumennya di Malaysia, dan masuk ke Indonesia melalui jalur laut serta darat secara ilegal.
Selain itu, selama berada di Indonesia, mereka tidak bisa memberikan keterangan identitas sebagaimana diwajibkan, tidak melaporkan kewarganegaraan atau perubahan lain kepada kantor imigrasi, serta tidak bisa menunjukkan dokumen perjalanan saat diminta pejabat imigrasi. Temuan tersebut menguatkan dakwaan bahwa Yusuf dan lima rekannya melanggar ketentuan keimigrasian yang berlaku. [uci/ian]
