Eksekusi di Pulosari Surabaya, Warga Beberkan Kronologi Pembangunan Rumah

Eksekusi di Pulosari Surabaya, Warga Beberkan Kronologi Pembangunan Rumah

Surabaya (beritajatim.com) – Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan 44 warga Pulosari melalui tim kuasa hukumnya melawan PT Patra Jasa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali berlanjut.

Kuasa hukum warga yakni Luvino Siji Samura, SH., MH, Ananta Rangkugo, SH dan Muhammad Ruwanda Sakhya, SH mendatangkan tiga warga untuk menjadi saksi. Mereka adalah Bayu Prianto, Vera Wijayanti, dan Topan Tri Wibowo.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai I Ketut Kimiarsa, banyak fakta terungkap yang diterangkan tiga orang saksi.

Berdasarkan pengakuan ketiga saksi di muka persidangan, ketika mereka menempati lahan yang dilakukan eksekusi tersebut, pada awalnya berupa lahan kosong yang tidak dikelola sama sekali.

Saksi Bayu Prianto yang membangun rumah sejak 2010, saksi Topan Tri Wibowo yang membangun rumah sejak 2013 dan saksi Vera Wijayanti yang membangun rumahnya pada tahun 2016. Mereka tidak pernah melihat adanya papan resplang yang bertuliskan tanah ini milik PT. Patra Jasa, atau adanya papan peringatan yang berisi larangan untuk memasuki atau mendirikan bangunan diatas tanah tersebut.

Ketiga saksi ini di dalam persidangan juga mengaku tidak mengetahui alas hak atau adanya sertifikat yang dimiliki PT. Patra Jasa untuk menguasai tanah tersebut.

“Jika tanah yang kami tempat itu milik PT. Patra Jasa, harusnya ada papan pengumuman atau papan peringatan sehingga tidak ada seorangpun yang berani mendirikan rumah di atas tanah itu,” ungkap saksi Vera Wijayanti.

Dihadapan majelis hakim, ketiga saksi ini juga mengaku bahwa sebelum mereka mendirikan rumah diatas tanah tersebut, sudah ada beberapa rumah milik warga yang berdiri dan sudah ditempati.

Saksi Bayu Prianto yang kelahiran 1973 dan asli warga Pulosari IIIB menjelaskan, kedua orang tuanya sudah memiliki rumah terlebih dahulu di Pulosari Bawah.

“Orangtua saya asli Pulosari. Awalnya, saya tinggal bersama orangtua. Ketika melihat banyak orang mendirikan rumah di Pulosari Bukit, saya pun ikut ikutan,” papar Bayu Prianto.

Untuk membangun rumahnya, saksi Bayu Prianto mengaku bahwa semua biaya yang dikeluarkan, murni hasil jerih payahnya sendiri, bukan dibangunkan kedua orangtuanya. Begitu juga dengan rumah yang ditempati Vera Wijayanti dan saksi Topan Tri Wibowo.

Hal lain yang dijelaskan ketiga saksi dimuka persidangan adalah mengenai Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Rumah yang ditempati ketiga saksi ini tidak pernah dimintakan IMB, baik ke kelurahan maupun kecamatan.

Meski begitu, pihak kelurahan maupun kecamatan tidak pernah melakukan larangan, menghentikan proses pembangunan rumah ataupun teguran.

Tiga saksi ini dalam kesaksiannya menjelaskan, bahwa rumah yang mereka bangun dan akhirnya ditempati itu pernah dimohonkan listrik ke PLN dan air ke PDAM.

Saksi Bayu Prianto dalam kesaksiannya menjelaskan, ketika ia mengajukan ke PLN supaya rumahnya dialiri listrik, pihak PLN terlebih dahulu melakukan survey.

Begitu selesai survey, tak lama setelah itu, rumahnya pun akhirnya teraliri listrik, begitu juga dengan air PDAM.

“Jadi, ketika saya mau membangun rumah di Pulosari Bukit, saya terlebih dahulu bertanya ke beberapa warga mengenai syarat untuk membangun rumah disini,” kata saksi Bayu Prianto.

Bahkan, lanjut saksi Bayu Prianto, dia juga sempat berkonsultasi dengan beberapa sesepuh disana. Begitu dipersilahkan, barulah proses pembangunan rumah dilakukan.

Saksi Bayu Prianto kembali menjelaskan, ketika rumahnya dibangun, tidak pernah ada teguran, larangan maupun perintah untuk menghentikan pembangunan dari pihak manapun, termasuk dari PT. Patra Jasa.

Para saksi yang dihadirkan dimuka persidangan ini kemudian menceritakan adanya eksekusi yang dilakukan PN Surabaya ditahun 2018 lalu.

Ketiga saksi yang diperiksa tidak bersamaan ini kembali bercerita, sejak menempati rumah di Pulosari Bukit, PT. Patra Jasa tidak pernah sekalipun mengunjungi warga, apalagi memberitahukan bahwa lahan yang telah ditempati banyak rumah tersebut akan dieksekusi.

Begitu pula dengan aparat terkait mulai kelurahan, kecamatan, Satpol PP Kota Surabaya dan pihak internal PT. Patra Jasa, tidak pernah melakukan sosialisasi, pemberitahuan, mengajak musyawarah warga supaya nantinya ketika rencana eksekusi terhadap lahan itu dilakukan, warga pun tahu dan menyadari.

Saksi Bayu Prianto kepada majelis hakim kembali menerangkan, di tahun 2014 dan tahun 2017, secara tiba-tiba ada surat dari PN Surabaya.

“Ada surat yang ditujukan ke Suhartono, paman saya adik kandung ibu saya. Surat itu ternyata anmaning. Namun, surat itu tidak digubris paman saya karena merasa tidak memiliki kaitan maupun tidak punya apa-apa di Pulosari Atas,” terang saksi Bayu Prianto.

Masih berkaitan dengan adanya surat dari PN Surabaya dan akhirnya diketahui jika surat itu adalah Anmaning.

Saksi Vera Wijayanti juge menjelaskan, di tahun 2014, ada surat dari PN Surabaya yang ditujukan ke Supartam.

“Yang menerima surat itu adalah Siami ibu kandung saya, putri dari Supartam. Namun hanya satu kali itu saja. Kami tidak tahu apa maksud dari surat PN Surabaya tersebut,” ujar saksi Vera Wijayanti.

Walaupun pengadilan pernah berkirim surat ke beberapa warga, namun pelaksanaan eksekusi tak pernah diberitahukan ke warga.

Beberapa warga Pulosari Atas yang merasa tidak ada kaitannya dengan eksekusi, merasa tidak terjadi apa-apa. Mereka pun beraktivitas sebagaimana biasanya.

Warga pun terlihat panik begitu tim dari pengadilan mulai menghancurkan rumah warga tersebut satu per satu. Bahkan, rumah warga di Pulosari Atas yang sebenarnya tidak masuk dalam obyek sengketa, ikut dirobohkan.

Saksi Topan Tri Wibowo dimuka persidangan bahkan bercerita, ketika eksekusi itu terjadi, di atas kepalanya sudah ada mesin bego.

Ia yang hendak menyelamatkan beberapa barangnya bahkan harus berlomba-lomba dengan alat berat yang mulai menghancurkan rumah-rumah warga satu persatu.

Ditemui usai persidangan, Luvino Siji Samura, SH., MH dan Ananta Rangkugo,.SH secara bergantian menerangkan, dari beberapa saksi yang dihadirkan dipersidangan termasuk tiga warga yang dihadirkan pada persidangan ini, semakin terang benderang, bagaimana sejarahnya tanah itu.

“Makin nampak ketidakadilan yang dirasakan 44 warga yang rumahnya ikut dirobohkan pada pelaksanaan eksekusi di tahun 2018 lalu,” ungkap Ananta Rangkugo.

Dalam perkara ini, lanjut Ananta, makin terlihat pula adanya skenario, dugaan rekayasa, yang dilakukan pihak tertentu.

“Hal itu bisa dilihat dari anmaning baik yang diterima Suhartono maupun Watim di tahun 2014 dan 2017,” terang Ananta.

Apakah mungkin, lanjut Ananta, Watim yang meninggal tahun 2003, di dalam surat Anmaning itu diberi penjelasan, yang bersangkutan sedang sakit sehingga tidak bisa menandatangani surat-surat.

Bukan hanya itu. Ananta kembali menjelaskan, hal paling janggal dan terlihat ada kebohongan di perkara nomor 333 tersebut adalah mengenai luasan tanah, baik yang dimiliki Supartam dan Watim.

Menurut Ananta, berdasarkan data yang ada, Supartam dan Watim tidak memiliki tanah maupun bangunan di Pulosari Atas.

Namun, di dalam dokumen pengajuan ganti kerugian kepada PT. Patra Jasa, yang ketika itu dikuasakan kepada Badrus dan Ali Sultan Hasibuan, disebutkan bahwa Supartam dan Watim memiliki tanah di Pulosari atas dengan luasan 1300 meter persegi dan 2 ribuan meter persegi.

Ananta secara tegas menerangkan, perkara ini error in persona. Dan yang lebih tragis lagi, akibat error in persona ini, 415 rumah milik warga Pulosari harus dieksekusi dan dirobohkan. [uci/but]