Jakarta –
Temuan antibiotik menjadi salah satu terobosan medis terbesar pada abad ke-20. Sebelum ada antibiotik, kejadian risiko persalinan, infeksi saluran kemih, hingga luka kecil bisa berujung kematian.
Antibiotik, sejenis antimikroba, telah memungkinkan banyak prosedur medis modern, dan kini sistem perawatan kesehatan global bergantung padanya. Karena meningkatnya penggunaan antimikroba, mikroba seperti bakteri, jamur, dan parasit telah mengembangkan kemampuan mereka untuk melawan kerja obat-obatan ini. Walhasil, obat tidak lagi mempan.
Infeksi umum yang dulunya mudah diobati menjadi semakin sulit disembuhkan dan dalam beberapa kasus kembali rentan berakibat fatal. Misalnya, pengembangan penisilin pada pertengahan 1940-an, banyak kelas antibiotik baru dikembangkan.
Namun, sejak 1980-an hanya ada sedikit investasi dalam pengembangan kelas baru dan sangat sedikit yang telah disetujui. Ada kebutuhan mendesak untuk antibiotik baru yang bekerja melawan bakteri yang resisten atau ‘kebal’ terhadap obat.
Infeksi yang resisten terhadap obat diperkirakan akan merenggut lebih dari 39 juta jiwa sejak saat ini hingga 2050, bila tidak ada tindakan lebih lanjut. Mengapa hanya sedikit antibiotik baru yang berhasil dikembangkan untuk penggunaan medis?
Dikutip dari Japan Today, Alistair Farley adalah Kepala Sains, Universitas Oxford dan Helen Smith adalah Rekan Peneliti Pascadoktoral, Universitas Oxford mencoba menjabarkan sejumlah alasan.
Banyak perusahaan farmasi dinilai telah meninggalkan bidang penelitian ini.
“Selain itu, menemukan jenis antibiotik baru dan berbeda yang tidak akan cepat menjadi tidak efektif karena resistensi antimikroba (AMR) yang ada merupakan tantangan yang berat,” terang para peneliti.
“Mengembangkan obat baru merupakan usaha yang rumit, sangat mahal, dan memakan waktu. Diperlukan waktu 10 hingga 15 tahun dari penemuan awal hingga persetujuan, dan menghabiskan biaya lebih dari US$1 miliar. Sebagian besar antibiotik yang ada murah dan mudah didapat. Semua antibiotik baru umumnya dianggap sebagai obat pilihan terakhir yang hanya digunakan ketika semua pilihan pengobatan lain telah habis,” lanjut mereka.
Hal ini dilakukan demi mencegah perkembangan resistensi terhadap antibiotik tersebut. Ini berarti bahwa pengembalian investasi untuk antibiotik jauh lebih rendah dibandingkan dengan obat-obatan untuk banyak penyakit lain. Oleh karena itu, perusahaan farmasi tidak mungkin memperoleh kembali biaya yang terkait dengan pengembangan antibiotik baru di akhir proses penelitian panjang.
Saat mencari antibiotik potensial baru, para peneliti menyaring ekstrak, pustaka senyawa dan juga menggunakan pendekatan artificial intelligence (AI) untuk mencari senyawa yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang menjanjikan.
Para ilmuwan kemudian menyempurnakan dan meningkatkan temuan awal di laboratorium dengan mengujinya terhadap patogen penyebab infeksi. Pada saat yang sama, mereka memastikan senyawa tersebut tidak akan berbahaya bagi manusia.
“Agar antibiotik bekerja pada pasien, antibiotik harus mencapai area tubuh tempat patogen penyebab penyakit berada dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk membersihkan infeksi. Pada saat yang sama, antibiotik harus meminimalkan efek samping apa pun.”
“Para ilmuwan perlu memodifikasi banyak parameter molekul untuk keamanan dan kemanjuran sebelum melakukan tahap pengembangan berikutnya. Setelah pengembangan tahap awal, senyawa utama harus menjalani serangkaian uji klinis pada manusia dalam kondisi yang dikontrol dengan cermat. Hal ini untuk memastikan bahwa senyawa tersebut pertama dan terutama aman dan efektif dalam mengobati penyakit,” tutur riset.
Para ahli mendesak perlunya komitmen dari pemerintah, industri farmasi, dan badan kesehatan masyarakat global untuk mendukung dan mempertahankan efektivitas antibiotik.
(naf/kna)