Dua Dosen Universitas Jember Bergabung dan Berorasi dalam Aksi ‘Indonesia Gelap’

Dua Dosen Universitas Jember Bergabung dan Berorasi dalam Aksi ‘Indonesia Gelap’

Jember (beritajatim.com) – Dua orang dosen Universitas Jember bergabung dalam aksi ‘Indonesia Gelap’ yang digelar ratusan orang mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Jember Melawan, di depan gedung DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat (21/2/2025) sore.

Mereka adalah pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Muhammad Iqbal dan Kris Hendrijanto. Mereka datang dengan mengenakan kaos warna hitam bertuliskan ‘Indonesia Gelap’.

Tak hanya datang, Iqbal bahkan berorasi. “Sebagai ASN, saya punya tanggung jawab moral untuk membersamai aura dan energi kawan-kawan semua, untuk membersamai jeritan rakyat Indonesia yang saat ini tengah pontang-panting babak belur akibat kebijakan kekuasaan,” katanya disambut tepuk tangan mahasiswa.

Iqbal kemudian menjelaskan isu-isu yang disuarakan mahasiswa, yakni penolakan terhadap revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, dan Undang-Undang Mineral dan Batubara.

Salah satu mahasiswa menyeletuk, “Wah, ini sama saja kuliah tiga SKS.”

Iqbal dan Kris memang sama-sama mantan aktivis Gerakan 1998 saat mahasiswa. Kris pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam. Sementara Iqbal adalah pegiat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di Universitas Airlangga.

“Dosen itu dulu dan asalnya juga sebagai mahasiswa di kampus. Aktivitas utamanya adalah belajar merawat menumbuhkan nalar kritis, rasional dan mencintai kebenaran dan keadilan,” kata Iqbal.

Maka, ketika mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil bergerak untuk menyuarakan jeritan rakyat, Iqbal memutuskan bergabung. “Jeritan mahasiswa dan rakyat adalah moral call, panggilan moral untuk membersamai gerakan mahasiswa,” katanya.

Iqbal dalam aksi tersebut diminta beberapa koordinator lapangan untuk berorasi. “Saya terima itu sebagai mandat, karena pada hakikatnya mahasiswa dan rakyat pemegang kedaulatan negara dan bangsa ini. Pemerintah atau penguasa hanyalah memegang kewenangan yang dibatasi masanya oleh konstitusi,” katanya.

Bukan sekali ini saja Iqbal bergabung dan berorasi dalam aksi unjuk rasa mahasiswa. Saat aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law, dia juga berorasi menyemangati mahasiswa.

Sementara itu, Kris Hendrijanto bergabung dengan aksi mahasiswa karena itu tanggung jawab moral. “Akademisi tidak cukup hanya diukur dari seberapa banyak karya jurnalnya yang masuk Scopus, tapi lebih luas dari itu adalah seberapa bermafaat tenaga dan pikirannya dituangkan bagi rakyat banyak,” katanya.

Kris tak gentar dijatuhi sanksi oleh rektorat karena bergabung dalam aksi yang mengkritisi pemerintah. “Kebebasan berpikir dan berpendapat setiap warga negara dijamin undang-undang. Memangnya ASN bukan warga negara?” katanya.

Kris hanya ingin menggunakan haknya sebagai warga negara untuk bersuara. “Saya rasa tidak ada yang salah kalau saya mengambil hak untuk ikut berlumpul dan berserikat, berpikiran dan mengemukakan pendapat. Saya justru heran kalau ada akademisi yang berdiam diri dan tudak melakukan apa-apa atas karut marut yang terjadi di negara ini,” katanya. [wir]