Jember (beritajatim.com) – DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, sepakat merevisi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengusahaan Tembakau yang telah berusia lebih dari 20 tahun.
Wakil Ketua DPRD Jenmber Widarto menyebut usia Perda Pengusahaan Tembakau sudah terlalu tua. “Saya sepakat banyak hal yang hal butuh pengawasan dan penegakan aturan soal kerja sama antara perusahaan dengan petani,” katanya, dalam rapat dengar pendapat di DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (18/9/2025).
Agus Khoironi, anggota Komisi B, setuju perda tentang tembakai direvisi. “”Usianya sudah 20 tahun lebih. Ini sudah tidak bagus,” katanya.
Menurut Agus, perda tersebut sudah tak sesuai dengan kondisi saat ini. “Kalau di perda itu perusahaan rokok hanya boleh menanam tembakau lima hektare, sekarang ratusan hektare yang mereka tanam,” katanya.
Sementara Widarto mendengar, petani ingin perusahaan rokok tidak menanam tembakau sendiri. “Hari ini mereka sudah bisa menanam di lahan yang sangat luas, sehingga merugikan petani. Tidak mengambil tembakau dari petani tapi menanam sendiri,” katanya.
Agus menyebut petani tembakau saat ini dalam posisi simalakama. “Kemarin harganya enak sehingga semua menanam tembakau. Tapi perusahaan sendiri bilang, kalau (stok) tahun kemarin saja belum bisa keluar, sehingga menumpuk, dan serapan tahun ini belum bisa maksimal,” katanya.
Komisi B sudah mendiskusikan persoalan ini. “Kita akan turun ke perusahaan-perusahaan. Dengan sangat terpaksa mereka harus kita genjot supaya tetap beli tembakau di masyarakat, karena memang kondisinya seperti itu,” kata Agus.
Tak hanya soal menumpuknya stok tembakau di gudang pabrik rokok. Keberadaan rokok ilegal ternyata juga menentukan serapan tembakau milik petani.
“Kenapa tembakau bisa laku keras, salah satunya karena ada produk rokok ilegal. Tahun ini rokok ilegal tidak dibolehkan. Akhirnya tembakau petani tidak bisa terserap. Ini sebenarnya jadi simalamaka buat kita,” kata Agus.
Ketua Komisi B Candra Ary Fianto bisa memahami kegelisahan petani. “Keluarga saya dari kakek, ayah, dan saudara kami adalah pekerja tembakau. Hari ini keluh-kesah petani tembakau luar biasa,” katanya.
Menurut Candra, ongkos operasional budidaya tembakau tinggi, salah satunya karena petani tidak berhak mendapat pupuk bersubsidi. “Belum lagi hari ini, gudang-gudang rokok besar hari ini masih belum buka. Yang ada di bawah adalah spekulan. Jadi harganya tergantung blandang (spekulan),” katanya.
Kondisi sektor tembakau semakin sulit, karena besarnya cukai rokok. “Di tengah gempuran rokok-rokok ilegal hari ini, otomatis mereka juga akan mengurangi penerimaan pasokan petani tembakau. Kalau sudah mengurangi produksinya, mesin-mesinnya berhenti, maka akhirnya pekerja yang menjadi korban,” kata Candra.
Candra mengatakan sebenarnya ada 30 perusahaan rokok di Jember. “Kenapa ini kita support terus? Kalau ini kita support, maka kita punya keyakinan petani di Kabupaten Jember bisa lebih berdaya,” katanya.
Namun, lanjut Candra, perusahaan-perusahaan ini terancam tingginya nominal cukai juga. “Perlu kita cari solusinya, termasuk pemberantasan rokok-rokok ilegal tadi. Maka kami sepakat perlu didorong revisi Perda Pertembakauan Nomor 7 tahun 2003,” katanya.
Saat ini, menurut Candra, DPRD jember sedang memfinalisasi Perda Perlindungan Petani. “Namun karena perlindungan petani, ini sifatnya umum,” katanya.
“Ke depan kami sepakat revisi ini harus kita terus dorong. Biar Jember tidak berubah logo. Biar Jember nanti tidak berubah simbol. Kalau tembakau enggak ada di Jember, jangan-jangan nanti Jember logonya bukan tembakau, tapi gajah berbelalai putih,” kata Candra. [wir]
