Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau Redenominasi Rupiah sudah masuk ke dalam daftar panjang atau long list Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Artinya, payung hukum itu tidak akan disahkan dalam waktu dekat.
Untuk diketahui, pengusulan RUU tersebut masuk ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025—2029. RUU tersebut menjadi inisiatif Kemenkeu atas usulan Bank Indonesia (BI), dan ditargetkan lolos menjadi UU pada 2027.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohamad Hekal irit bicara soal RUU tersebut. Dia mengatakan RUU itu masih dalam long list Prolegnas usulan pemerintah, belum masuk ke daftar Prolegnas Prioritas.
Politisi Partai Gerindra itu juga enggan mengungkap apabila nantinya parlemen akan memberikan dukungan kepada upaya pemerintah dalam mengubah harga rupiah itu.
“Terlalu jauh. Diusulkan saja belum. Engga perlu spekulasi lah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/11/2025).
Lebih jauh, Anggota Komisi XI DPR Martin Manurung menjelaskan bahwa apabila pemerintah menargetkan RUU itu diselesaikan pada 2027, maka biasanya baru akan diusulkan secara resmi untuk menjadi Prolegnas Prioritas pada 2026.
Martin, yang juga menjabat Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR menerangkan, bahwa secara teknis RUU itu biasanya baru akan dibicarakan pada 2026 apabila ingin dituntaskan pada 2027. Sebab, long list Prolegnas disusun sampai dengan 2029.
Pemerintah dan Baleg DPR setiap tahunnya akan melakukan rapat bersama untuk menentukan apa saja RUU yang akan menjadi prioritas untuk dibahas pada tahun tersebut.
“Kalau menurut saya, dari sisi teknis, kalau mau [tuntas] 2027, ya itu nanti saja pas rapat [tahunan dengan pemerintah] ngapain sekarang? Itu kan nanti bisa menimbulkan ketidakpastian, karena untuk melakukan redenominasi perlu banyak syarat-syarat secara teknis. Pertumbuhan ekonomi sudah harus bagus, inflasinya harus terkendali, pemerintahnya juga harus highly credible dari sisi kebijakan ekonomi,” terang Martin secara terpisah kepada Bisnis.
Martin menyampaikan bahwa pemerintah perlu menjaga kepastian dan stabilitas dalam mengusulkan rencana redenominasi rupiah itu. Dia memastikan ada berbagai proses yang harus dijalani sebelum RUU disahkan dalam rapat paripurna.
Politisi Partai Nasdem itu menjelaskan, RUU yang ingin dibahas harus masuk ke dalam Prolegnas. Nantinya, pemerintah dan Baleg DPR akan menyepakati apabila RUU tertentu akan ditetapkan sebagai prioritas, maupun menjadi usulan DPR atau pemerintah.
“Apakah itu menjadi usulan Komisi XI DPR, pemerintah atau baleg bisa saja kan? Artinya masih jauh,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, upaya redenominasi rupiah adalah langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas rupiah, dan mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional.
Prosesnya nanti direncanakan secara matang dan melibatkan koordinasi erat antarseluruh pemangku kepentingan. Saat ini, RUU itu telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah Tahun 2025—2029.
“Selanjutnya, Bank Indonesia bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan terus melakukan pembahasan mengenai proses redenominasi,” terang Ramdan melalui siaran pers, Senin (10/11/2025).
Berdasarkan Renstra Kemenkeu 2025—2029 yang tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, urgensi pembentukan RUU Redenominasi Rupiah yakni di antaranya efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional.
Kemudian, urgensi lainnya adalah untuk menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional, menjaga nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat, serta meningkatkan kredibilitas rupiah.
“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah [Redenominasi] merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” dikutip dari PMK yang diteken Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa itu pada Oktober 2025 lalu.
