Jakarta (beritajatim.com) – Dalam sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan yang diajukan oleh pemohon Almas Tsaqibbirru terkait uji materi Undang-Undang (PUU) Pemilu mengenai batas usia capres-cawapres tidak mencantumkan tanda tangan baik dari kuasa hukum maupun Almas sendiri selaku pemohon.
Fakta tersebut disampaikan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, dalam sidang Majelis Kehormatan MK yang berlangsung secara daring. Dia mengaku mendapatkan dokumen tersebut dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.
“Kami mendapatkan dokumen langsung dari situs Mahkamah Konstitusi bahwa kami melihat permohonan perbaikan yang diserahkan oleh pemohon juga tidak ditandatangani oleh baik kuasa hukum pemohon ataupun pemohon itu sendiri,” kata Julius.
“Kami mendapatkan satu catatan bahwa dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” ucap dia menambahkan.
BACA JUGA:
Aliansi Pengacara Ajukan Gugatan Judicial Review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi
Julius menerangkan hal itu menimbulkan kekhawatiran. Terlebih jika melihat peran MK yang selama ini dikenal sebagai teladan soal kedisiplinan dalam pemeriksaan persidangan maupun tata tertib administratif.
Dokumen perbaikan dari pemohon Almas, kata Julius, tidak ditandatangani pemohon namun dipublikasikan secara resmi oleh MK. Julius berharap bahwa isu ini juga akan mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.
“Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan dianggap batal permohonannya,” kata dia.
Kondisi ini menambah kompleksitas dari kasus uji materi Undang-Undang Pemilu yang telah menjadi sorotan publik. Pihak berwenang diharapkan segera mengklarifikasi dan menangani isu ini dengan cermat dan Majelis Kehormatan MK diharapkan akan menjalankan prosesnya dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. [beq]