Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi Kerja Sama Digital (Digital Cooperation Organisation/DCO) menyoroti perkembangan pesat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan teknologi baru yang telah mengubah arah pembangunan global.
Direktur Jenderal DCO, Hajar El Haddaoui menyebut bahwa AI bukanlah teknologi yang sepenuhnya baru. Sejak awal abad ke-20, AI telah digunakan untuk menganalisis data.
Namun, saat ini AI telah berkembang jauh hingga mampu menciptakan data. Dalam waktu dekat, AI bahkan bertindak secara mandiri.
“Kita sedang memasuki fase baru di mana AI tidak hanya menganalisis dan menciptakan data, tetapi juga mampu bertindak. Karena itu, desain teknologi yang berpusat pada manusia menjadi sangat krusial agar AI tetap bertanggung jawab dan benar-benar melayani kepentingan umat manusia,” kata Hajar dalam keterangannya, dikutip Minggu (14/12/2025).
Menurut Hajar, dalam pengembangan AI, manusia harus tetap memegang kendali penuh. Teknologi, imbuhnya, tidak boleh mengambil alih keputusan dan kendali atas kehidupan manusia.
Seiring dengan percepatan adopsi AI oleh pemerintah di berbagai negara, Hajar menilai keseimbangan antara inovasi dan perlindungan publik harus dijaga melalui regulasi berbasis risiko. Pendekatan ini memungkinkan teknologi berkembang tanpa mengabaikan aspek etika, tanggung jawab, dan keselamatan masyarakat.
“Pemerintah perlu menerapkan tata kelola AI yang berbasis risiko, berlandaskan prinsip etika, serta menyelaraskan standar lintas kawasan agar penerapannya konsisten dan relevan bagi generasi mendatang,” jelasnya.
Menyoroti Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, Hajar menyebut bahwa setidaknya terdapat tiga pilar utama agar pertumbuhan tersebut tetap inklusif dan berkelanjutan.
Pertama, investasi pada konektivitas dan infrastruktur digital sebagai fondasi pengembangan teknologi baru. Kedua, pengembangan keterampilan dan kapasitas sumber daya manusia agar mampu mengelola teknologi secara optimal dan bertanggung jawab.
“Banyak negara sudah memiliki teknologi, tetapi belum memiliki talenta yang memadai untuk mengelolanya. Investasi pada pengembangan keterampilan menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi digital,” ujarnya.
Pilar ketiga adalah penguatan tata kelola, termasuk adopsi praktik terbaik dari negara-negara yang telah lebih maju dalam merancang kerangka regulasi teknologi berbasis risiko. Selain itu, Hajar menekankan pentingnya kemitraan melalui pendekatan triple P, yakni kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan sektor publik, untuk memastikan manfaat ekonomi digital dapat dirasakan secara merata.
Di tengah kemajuan digital yang pesat, Hajar mengakui Indonesia masih menghadapi tantangan kesenjangan konektivitas dan keterampilan digital antara wilayah perkotaan dan daerah terpencil.
Berdasarkan analisis Digital Economy Navigator DCO terhadap lebih dari 80 negara, keterbatasan talenta menjadi salah satu risiko utama yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia.
“Tantangan talenta ini sebenarnya dapat diubah menjadi peluang. Indonesia dapat memperkuat kemitraan dengan institusi akademik, pusat pembelajaran daring nasional, serta membangun jalur talenta lintas negara anggota,” katanya.
Pendekatan tersebut, lanjut Hajar, memungkinkan percepatan pengembangan keterampilan dan peningkatan kapasitas, sekaligus membantu menjembatani kesenjangan digital antarwilayah.
Dengan strategi yang tepat, transformasi digital dinilai tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperkuat inklusivitas dan keberlanjutan pembangunan nasional.
Sebagai gambaran, Organisasi Kerja Sama Digital didirikan pada tahun 2020 di sela-sela G20, dengan kantor pusat di Riyadh, Arab Saudi.
