Yogyakarta (beritajatim.com) – Gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,2 mengguncang Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Sabtu (27/4) malam. Peristiwa ini menambah daftar panjang kejadian bencana alam di Indonesia, menyusul gempa bumi di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Pakar gempa bumi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir. Gayatri Indah Marliyani, Ph.D., menjelaskan bahwa Indonesia memang rawan gempa bumi karena terletak di Cincin Api Pasifik yang menyebabkan pergeseran lempeng tektonik.
Meskipun pemerintah memiliki Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), kewaspadaan dan kesiapsiagaan semua pihak sangatlah penting untuk menghadapi risiko bencana.
Menurut Gayatri, sumber gempa bumi dapat berasal dari daratan maupun lautan. Beruntung, selama ini, kebanyakan gempa terjadi di tengah laut, karena gempa di darat umumnya lebih merusak. “Semakin dekat dengan sumber gempa, semakin besar guncangannya,” ujar Gayatri dalam Diskusi Pojok Bulaksumur UGM bertajuk “Meningkatkan Kesiapsiagaan Pemerintah dan Kesadaran Masyarakat terhadap Ancaman Risiko Bencana di Tanah Air” di UGM, Jumat (26/4).
Gempa bumi dapat berulang karena mengikuti pergeseran lempeng tektonik. Bencana ini sulit diprediksi, namun data geologi dan catatan sejarah gempa bumi dapat menjadi acuan untuk mengetahui wilayah rawan gempa. “Penting bagi kita untuk mengenali dan mengetahui potensi bencana alam,” tuturnya.
Berbeda dengan gempa bumi, tanda-tanda erupsi gunung api dapat dikenali melalui tanda alam dan alat deteksi. “Tanda-tandanya dapat berupa peningkatan suhu di danau, air yang menjadi hangat, serta kematian binatang,” jelasnya.
Gayatri juga mengingatkan potensi gempa di Ibu Kota Nusantara (IKN). Wilayah Kalimantan memiliki sesar tua yang tidak terlalu aktif, tetapi berpotensi reaktif. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan potensi maksimum magnitudo gempa bumi di IKN.
Sementara itu, Dr. Muhammad Anggri Setiawan, M.Si, Plt. Ketua Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, mengatakan bahwa di musim penghujan seperti sekarang ini, risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor dapat terjadi kapan saja.
PSBA terus melakukan studi kebencanaan di berbagai wilayah di Indonesia dan mengembangkan alat deteksi dini longsor bernama SipendiL (Sistem Peringatan Dini Longsor) yang bekerja berdasarkan pembacaan total hujan. “Kami terus mengkaji sistemnya, baik secara meteorologi maupun geologi. Harapannya untuk meminimalisir risiko destruktif yang ditimbulkan,” ujarnya.
Amin Susiatmojo, S.Pt., M.Sc., perwakilan Tim Disaster Response Unit (DERU) UGM, menambahkan bahwa UGM tidak hanya berkontribusi pada kegiatan mitigasi dan studi penanggulangan bencana, tetapi juga memberikan kepedulian kepada korban bencana.
DERU dibentuk untuk membantu penanganan cepat, tepat, dan efektif di lokasi bencana. Tim DERU dan mahasiswa KKN-PPM UGM yang tergabung dalam tim ini memiliki kompetensi dari berbagai fakultas. “Mereka diarahkan oleh DPL sesuai tugasnya, seperti tim trauma healing dari Fakultas Psikologi dan pembuatan jamban darurat oleh mahasiswa Fakultas Teknik,” paparnya.
Amin juga menjelaskan peran KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) dalam membantu pengiriman dan penyediaan bantuan logistik. Upaya untuk meningkatkan kapasitas relawan terus dilakukan agar mereka tidak hanya menguasai persoalan yang bersifat responsif, tetapi juga mampu menjaga keselamatan diri saat menyelamatkan korban. [aje]