Liputan6.com, Jakarta Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dari sudut pandang pemerintah, kenaikan tarif PPN menjadi salah satu kebijakan strategis untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus memperkuat ekonomi nasional dan pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain, kenaikan tarif PPN menuai kritik dari sejumlah pihak. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah dan mengurangi daya beli masyarakat. Mereka berharap ada cara lain untuk yang ditempuh pemerintah.
Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar di Indonesia. Dengan pembebasan PPN pada kebutuhan pokok/primer, maka kebijakan menaikkan PPN dapat dikatakan lebih baik daripada menaikkan tarif pajak lainnya seperti PPh, yang terbatas berlaku pada individu atau entitas dengan penghasilan tertentu. Bila terjadi kenaikan PPh berpotensi dapat mengurangi insentif kerja atau investasi, yang pada akhirnya berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, kenaikan PPN memiliki cakupan yang lebih luas dan berdampak langsung pada pola konsumsi masyarakat, sehingga lebih efektif dalam mengumpulkan penerimaan negara dan mencerminkan prinsip keadilan dan gotong royong. Prinsip keadilan dalam perpajakan sendiri dapat dilihat dari bagaimana beban pajak didistribusikan secara proporsional kepada masyarakat. Dalam artian, semakin tinggi konsumsi seseorang, semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Dengan demikian, mereka yang berpenghasilan tinggi dan cenderung memiliki pola konsumsi lebih besar akan menanggung beban pajak lebih tinggi dibandingkan kelompok berpenghasilan rendah.
Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah telah mempertimbangkan matang-matang kebijakan kenaikan PPN. Sesuai dengan amanat UU HPP, kenaikan PPN diimplementasikan secara bertahap dari 10 % menjadi 11% di tahun 2022 dan 12% mulai Januari 2025. Dampak kenaikan PPN untuk penerimaan negara lebih besar daripada kalau menaikkan PPh. Terlebih setelah pandemi Covid-19 banyak perusahaan yang tidak profit.
“Kalau mengenakan pajak penghasilan tidak adil, orang bisnisnya rugi suruh bayar pajak. Kenapa kok PPN? Kalau PPh, perusahaan enggak profit. PPN semua membayar, ada (prinsip) gotong-royong. Untuk kebutuhan pokok tetap 0%. Jasa kesehatan, pendidikan dan transportasi tetap bebas PPN,” kata Yustinus Prastowo dalam diskusi bertajuk ‘Wacana PPN 12%: Solusi Fiskal atau Beban Baru Bagi Masyarakat beberapa waktu lalu.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dan menstimulasi perekonomian melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, salah satunya dari sisi perpajakan.
Sri Mulyani menjelaskan, pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan dan dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12% yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
“Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Sri Mulyani menegaskan pemerintah memperhatikan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah. Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat.
“Hampir seluruh fraksi setuju bahwa negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keberpihakan ini diwujudkan melalui fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok, baik berupa barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat luas,” kata Sri Mulyani.