Jakarta –
Long COVID merupakan istilah yang mengacu pada gejala jangka panjang pasien COVID-19 pasca dinyatakan sembuh. Kondisi ini ditandai dengan gejala-gejala, termasuk kelelahan, kabut otak, dan sesak napas.
Long COVID Membuat Sulit Berjalan
Hal ini juga dialami Chantal Britt, seorang warga Bern, Swiss. Ia tertular COVID-19 pada Maret 2020. Ia merasa long COVID sangat mengubah hidupnya.
“Dulu saya suka bangun pagi. Sekarang, saya butuh waktu dua jam untuk bangun pagi, karena semuanya terasa sakit,” jelas mantan pelari maraton yang berusia 56 tahun itu.
“Saya bahkan tidak berharap lagi bahwa saya akan sehat di pagi hari. Tetapi, saya masih agak heran betapa tua dan hancur perasaan saya,” sambungnya yang dikutip dari The Straits Times.
Saat ini, Britt bekerja paruh waktu sebagai peneliti universitas tentang COVID jangka panjang dan topik lainnya. Dia kehilangan pekerjaannya di bidang komunikasi pada 2022, setelah dia meminta untuk mengurangi jam kerjanya di tengah keterbatasan kondisi.
Dia rindu berolahraga, yang dulu seperti ‘terapi’ baginya. Namun, sekarang dirinya harus lebih merencanakan kegiatan sehari-harinya, seperti memikirkan tempat-tempat dirinya bisa duduk dan beristirahat, sewaktu-waktu lelah saat berbelanja.
Kurangnya pemahaman dari orang-orang di sekitar juga mempersulit kondisinya.
“Ini adalah penyakit yang tidak terlihat, yang berhubungan dengan semua stigma yang menyertainya,” kata Britt.
“Bahkan orang-orang yang benar-benar terdampak parah, yang berada di rumah, di ruangan gelap, yang tidak dapat disentuh lagi, suara apapun akan membuat mereka jatuh sakit, meski mereka tidak tampak sakit,” lanjut dia.
Long COVID Memicu Kelemahan Otot
Kondisi serupa juga dialami oleh seorang guru seni berusia 33 tahun, Andrea Vanek. Wanita dari Australia itu pertama kali mengalami gangguan akibat long COVID sekitar tiga tahun yang lalu.
Saat itu, Vanek sedang mengajar seni dan kerajinan di sekolah. Tiba-tiba, dia merasa pusing dan jantung yang berdebar-debar, sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.
Setelah menemui sejumlah dokter, Vanek didiagnosis mengalami long COVID. Hal itu membuatnya hanya bisa menghabiskan sebagian besar harinya di ruang tamu kecil di apartemennya di Wina, sambil mengamati dunia luar lewat jendela.
“Saya tidak bisa merencanakan apapun, karena tidak tahu berapa lama penyakit ini akan berlangsung,” tutur Vanek.
Vanek berusaha untuk tidak memaksakan dirinya agar terhindar dari masalah kesehatan lainnya. Kelemahan otot yang parah yang dialaminya itu membuatnya kesulitan, meski hanya membuka tutup botol air.
(sao/naf)