Cek Kesehatan Jemaah Haji: Seremonial atau Penyelamatan? Nasional 29 Juli 2025

Cek Kesehatan Jemaah Haji: Seremonial atau Penyelamatan?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juli 2025

Cek Kesehatan Jemaah Haji: Seremonial atau Penyelamatan?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pemeriksaan kesehatan jemaah haji atau istithaah kembali menjadi sorotan setelah penyelenggaraan ibadah haji 2025 selesai dilaksanakan.
Meski diwajibkan, pelaksanaannya dinilai belum efektif mencegah keberangkatan jemaah dengan kondisi kesehatan berat.
Kasus
jemaah hilang
, meninggal dunia, hingga melahirkan di Tanah Suci pun mencuat dan memunculkan pertanyaan: apakah pemeriksaan kesehatan yang diterapkan selama ini benar-benar bertujuan menyelamatkan, atau hanya formalitas belaka?
Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Dahnil Anzar Simanjuntak mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan banyak jemaah dengan kondisi kesehatan tak sesuai standar, tetap lolos dan diberangkatkan ke Tanah Suci.
Temuan itu didapat saat BP Haji melakukan pengawasan langsung di lapangan selama pelaksanaan ibadah haji 2025 berlangsung.
“Bahkan yang saya cek langsung, saya langsung melihat, di safari wukuf saya cek. Karena saya ingin tahu di lapangan kondisinya. Saya langsung cek tempat penampungan hotel cadangan, sementara saya lihat banyak yang sakit kok bisa berangkat di sini,” ujar Dahnil saat wawancara khusus bersama Kompas.com, Rabu (3/7/2025).
“Salah satunya demensia misalnya, ada yang diabetes kronis. Belakangnya itu ibu-ibu, belakangnya itu ada (luka) bolong. Kalau orang diabetes, luka itu kan bisa membesar. Nah ini sudah bolong, berarti kan cek kesehatan ini (kurang maksimal),” sambungnya.
Menurut dia, persoalan utama ada pada ketidakjujuran dalam proses cek kesehatan, baik dari pihak pemeriksa maupun dari jemaah itu sendiri.
Berkaca dari kondisi tersebut, Dahnil pun menilai hal ini menunjukkan masih adanya celah sistemik yang memungkinkan manipulasi data kesehatan.
“Nah, praktik-praktik manipulasi kesehatan itu masih banyak ditemukan. Anda bayangkan masa yang demensia bisa lolos. Bayangkan juga ya, lebih tragis yang hamil besar bisa lolos berangkat, akhirnya bisa lahiran di sana,” ucap Dahnil.
Sebanyak 447 jemaah haji asal Indonesia meninggal dunia berdasarkan laporan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama (Kemenag).
Dari 447 jemaah haji yang meninggal dunia, 274 orang atau 61,30 persen di antaranya adalah jemaah haji laki-laki.
Sedangkan 38,70 persen atau 173 lainnya adalah jemaah haji perempuan.
Penyebab dominan dari
kematian jemaah haji
adalah penyakit jantung, seperti syok kardiogenik dan gangguan jantung iskemik akut, serta sindrom gangguan pernapasan akut pada orang dewasa.
Sementara itu, masih ada tiga jemaah haji yang hilang di Tanah Suci.
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengatakan, tiga jemaah lansia tersebut mengalami demensia.
Hingga kini, proses pencarian jemaah haji hilang tersebut masih terus dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dengan dukungan pihak kepolisian Arab Saudi.
“Kami mencari tidak ada batas waktu ya. Buktinya, ada jemaah haji tahun lalu yang hingga 2024 masih terbaring di rumah sakit Madinah, kami pun tetap memberikan perhatian,” kata Nasaruddin dalam konferensi pers Penutupan Operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji 1446 H/2025 M, di Kantor Kemenag, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025).
Dalam rangka mendukung proses identifikasi, Kemenag juga akan meminta sampel DNA dari keluarga ketiga jemaah tersebut.
Langkah ini diambil menyusul adanya temuan jenazah yang belum teridentifikasi di wilayah Arab Saudi oleh otoritas setempat.
 
“Supaya nanti kami akan cocokkan, siapa tahu di antara yang hilang itu ada di sana,” jelas Nasaruddin.
Temuan persoalan kesehatan jemaah haji ini diperkuat laporan Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI yang mengungkapkan berbagai masalah dalam penyelenggaraan haji 2025.
Salah satunya adalah masih adanya jemaah yang tidak memenuhi syarat kesehatan namun tetap diberangkatkan.
“Terdapat temuan jemaah haji yang berangkat tidak sesuai dengan ketentuan istithaah kesehatan, atau kemampuan untuk berangkat secara kesehatan,” ungkap Cucun.
Timwas juga mendapati adanya pembatasan layanan kesehatan di hotel-hotel selama di Makkah.
Kondisi ini menyulitkan jemaah untuk mendapatkan perawatan, terutama saat fase puncak ibadah di Arafah dan Mina.
Tak sampai di situ, Wakil Ketua DPR RI itu mengungkapkan bahwa Timwas Haji juga menyoroti masih ada tiga jemaah haji Indonesia yang hilang di Tanah Suci dan sampai saat ini belum ditemukan.
Adapun ketiga jemaah haji yang belum ditemukan itu adalah Nurimah (80 tahun) dari Kelompok Terbang 19 Embarkasi Palembang, Sukardi (67) dari Kelompok Terbang 79 Embarkasi Surabaya, dan Hasbullah (75) dari Kloter 7 Embarkasi Banjarmasin.
Ketiga disebut memiliki riwayat demensia.
“Timwas juga memberi perhatian serius atas belum ditemukannya 3 orang jemaah haji yang hilang, dan mendesak kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia untuk terus mencari, dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait di Arab Saudi, termasuk pemerintahan Kerajaan Arab Saudi,” pungkas Cucun.
Sebagai bagian dari evaluasi dan pembenahan, BP Haji berencana menerapkan manasik kesehatan sebagai langkah persiapan wajib bagi calon jemaah.
Program ini akan melibatkan tim medis sejak satu hingga dua tahun sebelum keberangkatan jemaah.
“Jadi manasik itu, bukan hanya manasik haji itu hanya manasik syariatnya, manasik fiqihnya. Tapi juga manasik kesehatannya,” kata Dahnil.
Dalam pelaksanaannya, lanjut Dahnil, para jemaah akan diajarkan bagaimana menjaga fisik, menghadapi cuaca ekstrem, dan menjalani ibadah panjang dengan kondisi tubuh prima.
“Jadi kan terus dibimbing. Kalau manasik haji secara syariat itu bagaimana sih cara tawaf, cara sa’i. Nah kalau manasik kesehatan, kita akan mempunyai perjalanan kesehatan kita seperti apa,” ungkap Dahnil.
“Apalah kan kemungkinan 2026-2027 cuaca akan berbeda. Karena ada ramalan cuaca, haji 2025 itu haji terakhir (dengan) musim panas misalnya. 2026-2027 akan berubah ke musim yang lebih dingin dan itu bisa terjadi,” sambungnya.
Dahnil juga menegaskan bahwa penilaian kelayakan jemaah seharusnya tidak boleh lagi berbasis usia semata.
Dia pun mengingatkan kembali arti dari kata istithaah, yakni kemampuan.
“Nah itu yang juga kita akan lebih ketat. Jadi ukuran kita bukan umur, ukuran kita ya istithaah. Makna istithaah itu kan kemampuan, karena ada yang masih muda, lebih tidak sehat,” ucap Dahnil.
“Bisa jadi ada orang usianya 70 tahun, tapi dia lebih sehat ketimbang usia 40 tahun, bisa begitu kan. Ukurannya adalah istithaah kesehatan, bukan usianya, karena ada yang usia 80 tahun kuat sekali, fit gitu loh,” tambahnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Nasdem turut mendorong agar tahapan istithaah atau skrining kesehatan jemaah haji sebelum keberangkatan lebih dimaksimalkan.
Dia pun mengusulkan agar calon jemaah haji lansia wajib menjalani pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE), guna mendeteksi gangguan demensia sebelum keberangkatan.
“Optimalisasi
skrining kesehatan mental
pra-keberangkatan. Neurolog menyarankan agar calon haji lansia menjalani tes MMSE (Mini Mental State Examination) untuk mendeteksi apakah mereka mengalami demensia ringan, sedang, atau berat sebelum diberangkatkan. Proses skrining bersifat wajib untuk lansia,” kata Dini.
Dia juga menyarankan pemerintah mempertimbangkan ulang keberangkatan jemaah haji lansia yang memiliki demensia sedang hingga berat, demi keamanan dan keselamatan selama beribadah.
“Jemaah yang mengalami demensia sedang hingga berat biasanya ditunda atau dilarang berangkat, karena kondisinya dapat membahayakan diri sendiri selama ibadah. Hanya peserta dengan demensia ringan yang masih diperbolehkan melanjutkan perjalanan ibadah,” kata Dini.
Kementerian Kesehatan meminta pemerintah memberlakukan standar kesehatan yang lebih ketat untuk mengukur mampu dan tidaknya jemaah melaksanakan ibadah haji.
Pada hari ke-60 pelaksanaan ibadah haji, Kepala Bidang Kesehatan PPIH Arab Saudi Mohammad Imran menyoroti angka kematian Indonesia yang saat itu mencapai 418 orang.
Imran menyebut kondisi ini sebagai peringatan serius, dan menekankan pentingnya pengetatan dalam pemeriksaan kesehatan sebagai syarat istitha’ah atau kemampuan berhaji.
“Ibadah haji merupakan kegiatan pengumpulan massa terlama dan terberat bagi kaum muslimin dari sisi aktivitas fisik ibadahnya,” kata Kepala Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Mohammad Imran, dalam keterangannya, Rabu (2/7/2025).
Imran menjelaskan, angka kematian tersebut tercatat berdasarkan data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Bidang Kesehatan (Siskohatkes) per 30 Juni 2025 pada pukul 16.00 waktu Arab Saudi.
“Meningkatnya jemaah haji yang meninggal dunia merupakan alarm tanda bahaya bagi kita semua. Kami perlu memastikan bahwa setiap jemaah yang berangkat benar-benar memenuhi kriteria istitha’ah kesehatan,” tuturnya.
Kemenkes sendiri telah menetapkan standar pemeriksaan kesehatan jemaah melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/508/2024.
Regulasi ini merupakan perubahan atas aturan sebelumnya, dan mencakup pemeriksaan fisik, kognitif, mental, serta kemampuan menjalani aktivitas keseharian.
Implementasi istitha’ah kesehatan yang ketat diharapkan dapat menyaring calon jemaah haji yang memiliki risiko tinggi atau kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan menjalani ibadah haji yang menuntut fisik.
“Pemerintah Indonesia juga perlu diberikan kemudahan dalam legalitas operasional layanan kesehatan haji selama di Arab Saudi. Persoalan penyelenggaraan kesehatan haji adalah tanggung jawab bersama,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.