Jember (beritajatim.com) – Bupati Hendy Siswanto melayangkan surat kepada Penjabat Gubernur Adhi Karyono untuk menyerahkan pengelolaan Bandara Notohadinegoro di Kabupaten Jember kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dalam surat tertanggal 29 November 2024, Hendy menyampaikan bahwa kondisi pelayanan dan infrastruktur Bandara Notohadinegoro sangat minim karena keterbatasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Jember.
Hendy juga menyampaikan, bahwa Pejabat Sementara Bupati Imam Hidayat dalam surat tertanggal pada 12 November 2024, telah mengusulkan bantuan keuangan sebesar Rp 100 miliar untuk memperpanjang landasan pacu, serta meningkatkan kualitas infrastruktur dan kinerja pelayanan transportasi udara.
“Dalam rangka meningkatkan kelas layanan bandara serta tidak adanya tanggapan dari pemerintah pusat, dengan hormat kami mohon agar kiranya penyelenggaraan, pengelolaan, pengusahaan, dan pengembangan Bandata Notohadinegoro Kabupaten Jember dapat diambil alih Pemerintah Provinsi Jawa Timur,” demikian pernyataan Hendy dalam suratnya.
Dimintai konfirmasi mengenai surat tersebut, Hendy mengatakan, berat bagi Pemkab Jember untuk mengelola bandara tersebut. “Kalau kita pegang dan kita minta bantuan keuangan saja, untuk pembangunannya pun tidak ada ada anggaran,” katanya.
Hendy mengatakan penyerahan ini bertujuan baik. “Ini untuk peningkatan kelas layanan. Bukan diserahkan begitu (saja). Ini karena Kementerian Perhubungan tidak mau menjadikan (Notohadinegoro) bandara perintis,” katanya.
Kementerian Perhubungan menginginkan Notohadinegoro menjadi bandara komersial. Sementara Pemkab Jember berharap bandara itu menjadi bandara perintis. “Kalau komersial, berat di kita. Kalau perintis dibantu subsidi terus,” kata Hendy.
Bandara Notohadinegoro membutuhkan biaya operasional besar. Penerbangan di bandara ini, menurut Hendy, juga membutuhkan okupansi penumpang tinggi. “Sebetulnya bukan kelas Pemkab Jember untuk menangani ini. Tentu perlu biaya tak sedikit untuk pengelolaan bandara. Sangat tepat sekali, kalau sekelas pemerintah provinsi yang turun tangan mengelola. Ini akan mengurangi beban Pemkab Jember,” katanya.
“Intinya, bandara ini wajib dibangun pada 2025, dan harus difungsikan kembali, karena bandara ini tidaj mungkin dihapus. Diharapkan Pemprov Jatim bisa berkontribusi lebih banyak untuk bandara ini,” kata Hendy.
Bagaimana soal bagi hasil pendapatan bandara? “Gampang. Yang penting pengelolaannya. Tidak ada bandara profit, apalagi perintis. Yang penting orang-orang bisa digaji,” kata Hendy.
Bandara Notohadinegoro dibuka pada 2004 pada masa pemerintahan Bupati Samsul Hadi Siswoyo. Sebelumnya, Pemkab Jember sudah berkali-kali berupaya untuk menghidupkan kembali bandara Notohadinegoro untuk penerbangan komersial. Saat ini bandara tersebut hanya untuk rute penerbangan perintis ke Kabupaten Sumenep, Madura.
Persoalan pengelolaan bandara tak juga selesai karena terbentur status lahan. Angkasa Pura tidak bisa mengelola bandara tersebut karena status tanahnya masih dimiliki PT Perkebunan Nusantara XII (sekarang PT Perkebunan Nusantara I Regional 5). Pengambilalihan lahan untuk keperluan bandara membutuhkan ganti rugi.
Masalah status tanah ini membuat pembangunan bandara tidak berjalan maksimal. Apalagi rute penerbangan komersial Jember-Surabaya ternyata tidak cukup menjanjikan keuntungan besar bagi maskapai. Satu demi satu maskapai memilih tak lagi beroperasi karena mahalnya biaya penerbangan tidak sebanding dengan jumlah penumpang. [wir]
