Jakarta –
BPJS Kesehatan dihadapkan dengan kemungkinan defisit dan gagal bayar jika tidak melakukan perbaikan. Sejak tahun 2023, terjadi ketimpangan antara biaya pengeluaran BPJS Kesehatan dan pemasukan yang didapatkan dari premi atau iuran peserta.
“2026 (potensi gagal bayar), makanya kan 2025 mau disesuaikan,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat ditemui di kantor Bapennas, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2024).
Kesenjangan antara besaran premi yang diterima BPJS Kesehatan dan yang dikeluarkan untuk membiayai layanan kesehatan masyarakat penerima manfaat berpotensi menyebabkan defisit anggaran yang serius.
Opsi menaikkan iuran disebut menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan demi keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional (JKN).
“Hampir 70 persen peserta BPJS Kesehatan itu kelas 3, jadi kan sudah nggak sesuai antara iuran dan kontribusi yang seharusnya,” beber Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby.
Mahlil mengatakan fenomena premi stagnan ini dipicu banyak hal, termasuk kenaikan kelas peserta yang tergolong rendah. Banyak peserta JKN kelas 3 yang upahnya cenderung stagnan sehingga kontribusi iuran tidak cukup menutupi peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
Di samping itu banyak Pemerintah Daerah yang berutang biaya premi dalam jumlah ekstrem. Belum lagi adanya peningkatan kasus penyakit kronis yang diidap masyarakat, memicu tingginya biaya pelayanan kesehatan.
“Jika kita tidak mengambil kebijakan apapun, maka pada 2025 atau 2026, aset BPJS Kesehatan bisa saja negatif,” tandas Mahlil.
(kna/kna)