Blitar Andalkan DBHCHT dan Swakelola Dongkrak Produktivitas Tani

Blitar Andalkan DBHCHT dan Swakelola Dongkrak Produktivitas Tani

Blitar (beritajatim.com) – Aula Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Blitar tampak penuh. Suasana akrab namun serius menyelimuti ruangan yang dipenuhi perwakilan kelompok tani dari 15 kecamatan.

Hari itu, mereka tidak hanya mendengar pemaparan program, tetapi juga memegang kunci peran penting dalam pembangunan sarana dan prasarana pertanian yang dibiayai dari beragam sumber anggaran, termasuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Sosialisasi ini bukan kegiatan seremonial belaka. Bagi Matsafii, Kepala Bidang Prasarana Pertanian Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Blitar, momen ini merupakan pengantar bagi petani untuk memahami mekanisme pelaksanaan program infrastruktur berbasis swakelola yang akan mereka jalankan sendiri.

Ia menjelaskan, kegiatan tahun ini mencakup pembangunan jalan usaha tani (JUT), jaringan irigasi tersier (JIT), sumur dangkal, serta irigasi perpompaan. Semuanya tersebar di 15 kecamatan dan dikerjakan langsung oleh kelompok tani penerima manfaat.

“Semua kegiatan berbasis swakelola. Dana masuk ke rekening kelompok, mereka yang laksanakan dengan didampingi dua fasilitator, baik untuk teknis maupun administrasi,” ujar Matsafii dalam pemaparannya.

Tak hanya anggaran dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBD II, kegiatan ini juga didukung oleh dana tugas pembantuan dari APBN Provinsi. Menurut Matsafii, dari APBN Provinsi misalnya, ada program irigasi perpompaan yang mengambil sumber air tanah melalui sumur, berbeda dengan irigasi permukaan yang mengambil dari sungai.

Namun, sorotan utama dalam pertemuan ini adalah penggunaan DBHCHT. Untuk tahun anggaran 2025, dana dari hasil cukai ini dialokasikan untuk membangun 7 titik JIT dan 6 titik JUT.

“Masing-masing titik dianggarkan sekitar Rp 150 juta hingga Rp 200 juta,” ungkap Matsafii. Ia menekankan, lokasi program tersebar merata di wilayah Kabupaten Blitar, terutama di kecamatan-kecamatan penghasil tembakau seperti Selopuro, Talun, Kademangan, dan Panggungrejo.

Matsafii menambahkan, kriteria penerima DBHCHT memang mensyaratkan keberadaan tanaman tembakau di wilayah kelompok tani. Hal ini selaras dengan tujuan penggunaan DBHCHT yang harus tepat sasaran sesuai komoditas penyumbang cukai. “Di Selopuro, luas lahan tembakaunya paling dominan, tapi di kecamatan lain juga ada spot-spot,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menekankan urgensi pembangunan JIT untuk mendukung produktivitas pertanian. Pasokan air menjadi penentu utama keberhasilan budidaya tembakau maupun tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Jaringan irigasi tersier, kata dia, akan mengalirkan air langsung ke lahan pertanian, berbeda dengan jaringan primer dan sekunder yang berfungsi di level distribusi besar.

“Kalau irigasi sekunder dan primer itu ranahnya PUPR. Kita di ketahanan pangan mengurus yang kecil, tapi langsung menyentuh sawah,” tuturnya.

Sementara itu, pembangunan JUT diprioritaskan untuk memperlancar distribusi hasil panen dan kebutuhan pertanian lainnya. Namun, ia mengingatkan bahwa spesifikasi JUT berbeda dengan jalan umum. “Ketebalan jalan hanya sekitar 15 cm, cukup untuk roda tiga atau pick up kecil. Tidak bisa dilewati truk besar,” tegasnya.

Sosialisasi ini tak sekadar berbicara teknis. Ada pula pesan penting yang ditegaskan Matsafii: kelompok tani harus benar-benar memahami peran dan tanggung jawab mereka. Sebab, dalam skema swakelola, kelompok memegang kendali penuh atas pelaksanaan fisik maupun pelaporan administrasi keuangan.

“Kalau tidak dipahami dari awal, bisa muncul masalah di tengah jalan. Kami hanya mendampingi, bukan pelaksana,” katanya. Rencananya, minggu depan akan digelar pertemuan lanjutan khusus untuk kelompok penerima DBHCHT guna memperdalam pemahaman mereka.

Di balik detail teknis dan angka-angka anggaran, ada harapan besar yang digantungkan pada program ini. Matsafii menyebut, pembangunan JIT dan JUT bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai swasembada pangan di Kabupaten Blitar. Ia berharap seluruh infrastruktur yang dibangun dapat dimanfaatkan secara maksimal demi mendongkrak produksi dan produktivitas pertanian, khususnya tanaman pangan.

Sosialisasi seperti ini menjadi napas segar di tengah tantangan regenerasi petani dan perubahan iklim yang memengaruhi pola tanam. Dengan melibatkan petani sebagai pelaku utama pembangunan, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian mencoba menjembatani kebutuhan lapangan dengan perencanaan anggaran pemerintah.

Di akhir acara, para peserta terlihat serius mencatat, sesekali berdiskusi dengan pendamping yang turut hadir. Di mata mereka, kegiatan ini bukan sekadar rapat atau rutinitas tahunan. Ini adalah awal dari tanggung jawab besar yang, jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, akan mengubah wajah pertanian Blitar dalam jangka panjang.

Dan seperti yang disampaikan Matsafii, perbaikan sarana pertanian bukan sekadar beton dan air. Ini tentang meletakkan pondasi kemandirian pangan yang sesungguhnya. Sebuah cita-cita besar yang kini mulai dikerjakan, pelan tapi pasti, oleh tangan-tangan petani sendiri. [owi/beq]