Berkaca dari Viral Pernikahan Anak di Lombok, Psikolog Soroti Peran Ortu

Berkaca dari Viral Pernikahan Anak di Lombok, Psikolog Soroti Peran Ortu

Jakarta

Viral di media sosial, sebuah video yang menunjukkan pernikahan anak terjadi di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Diketahui belakangan, mereka adalah remaja berinisial SR (17) seorang siswa SMK asal Kecamatan Praya Tengah dan SMY (14) siswa SMP asal Kecamatan Praya Timur.

Pengacara ayah SMY, Munahan mengklaim pihak keluarga sebenarnya sudah berupaya mencegah pernikahan tersebut. Namun, keluarga SMY akhirnya terpaksa merestui putrinya untuk menikah lantaran sudah beberapa kali dibawa kabur SR, termasuk ke Sumbawa selama dua hari.

Orang tua khawatir terhadap kondisi psikologis anaknya sehingga memutuskan untuk mengalah.

“Begitu sudah dilakukan kedua kali, orang tua si anak ini mau tidak mau pasrah sehingga merestui pernikahan itu,” tegas Muhanan beberapa waktu lalu, dikutip dari detikbali, Rabu (28/5//2025).

Terlepas dari kejadian tersebut, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menyoroti pentingnya peran orang tua dalam mencegah pernikahan dini. Menurutnya, orang tua harus lebih peduli dengan cara berpikir anak sedari awal.

Misalnya, memberikan penjelasan tentang konsep pernikahan, konsep pertemanan, konsep rasa nyaman, hingga melakukan filter terhadap apapun yang dilihat anak-anak, termasuk tontonan.

“Sehingga bahasanya lebih preventif lah dibandingkan mencegah mereka menikah, tapi betul-betul preventif lebih jauh lagi,” kata Sari ketika dihubungi detikcom, Selasa (27/5/2025).

“Perlu mengedukasi tentang tontonan-tontonan yang layak mereka tonton terkait pernikahan, rumah tangga, apalagi seksual begitu ya dan memantau bagaimana tumbuh kembang biologis anak-anaknya,” sambungnya.

Menurut Sari, remaja di bawah umur memiliki kecenderungan dorongan yang bersifat seksual dan ketertarikan pada lawan jenis. Pada usia belasan, anak biasanya juga lebih berani, impulsif dalam melakukan sesuatu, sehingga sosok orang tua perlu hadir untuk mengatur secara tegas.

Adapun bila dirasa jodoh dan sesuai kriteria keluarga, orang tua harus bisa menahan agar pernikahan tidak terjadi sampai usia yang matang. Karena pada dasarnya, anak belum memiliki kemampuan berpikir logis dan kurang memahami soal tanggung jawab berat dalam rumah tangga.

“Karena tetap andaikan berjodoh pun, andaikan secara bibit bebet bobotnya pun keluarga srek, lebih baik tetap mereka dipantau dan dijaga agar tetap berhubungan baik dulu, berkawan baik, saling mengenal baik dulu satu sama lain, hingga nanti usia yang lebih matang atau dewasa,” jelasnya.

“Sehingga cara mereka berpikir pun, keberanian dan tanggung jawabnya sudah mulai terbentuk. Sudah mulai bisa berpikir tentang segala risiko-risiko yang bisa terjadi, apakah siap atau tidak, dan lain sebagainya,” tandas Sari.

(avk/kna)