Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Badan Anggaran alias Banggar DPR sepakat memperluas ruang fiskal melalui pelebaran target defisit dari 2,48% ke 2,68% dalam RAPBN 2026. Kesepakatan ini melengkapi kebijakan pro-growth yang ditempuh sebelumnya mulai dari gelontoran likuiditas ke Himbara hingga kebijakan moneter yang semakin akomodatif.
Purbaya menjelaskan pelebaran defisit RAPBN 2026 itu masih di bawah ambang batas yang diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yaitu 3%. Oleh sebab itu, dia meminta masyarakat tak perlu khawatir.
“Itu masih 2%-3%, dan [pelebaran defisit] diperlukan untuk nanti menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, jadi enggak usah takut. Kita tetap hati-hati,” ujar Purbaya usai rapat dengan Banggar DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Adapun pelebaran defisit itu terjadi karena ada usulan tambahan belanja negara yaitu dari Rp3.786,5 triliun menjadi Rp3.842,7 triliun atau naik Rp56,2 triliun. Kenaikan yang paling besar dalam belanja negara ini adalah pos transfer ke daerah, yang awalnya Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun atau naik Rp43 triliun.
Sementara itu, target pendapatan negara juga bertambah dari pendapatan negara dirancang sebesar Rp3.147,7 triliun menjadi Rp3.153,6 triliun atau naik Rp5,9 triliun. Kenaikan terbesar berasal dari penerimaan negara bukan pajak yaitu dari Rp455 triliun menjadi Rp459,2 triliun atau naik Rp4,2 triliun.
Dengan demikian, kenaikan kebutuhan belanja negara (Rp56,2 triliun) jauh lebih besar dari kenaikan target pendapatan negara (Rp5,9 triliun) sehingga defisit anggaran juga melebar dari Rp638,8 triliun menjadi Rp689,1 triliun alias naik Rp50,3 triliun.
“Apakah yang kami sampaikan terhadap postur terbaru ini dalam forum ini dapat disetujui?” ujar Ketua Banggar Said Abdullah, diikuti persetujuan dari seluruh peserta.
Rezim Pro Growth Otoritas Moneter
Pelebaran ruang fiskal itu juga sejalan dengan kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI) yang semakin mendukung pertumbuhan ekonomi. Kendati langkah ini berisiko mereduksi tugas BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar mata uang rupiah.
Sekadar catatan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo secara terbuka menyatakan bahwa kebijakan moneter akan diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Perry menilai pertumbuhan ekonomi domestik masih di bawah kapasitas nasional. Oleh sebab itu, sambungnya, permintaan domestik perlu kita dorong. “Oleh karena itu, dari sisi Bank Indonesia, melalui sinergitas, semua kebijakan kami memang telah all out [habis-habisan] untuk pro growth [mendukung pertumbuhan] dengan tetap menjaga stabilitas,” ujar Perry dalam konferensi pers hasil rapat dewan gubernur BI September 2025 secara daring, Rabu (17/9/2025).
Dia mencontohkan bahwa bank sentral telah menurunkan suku bunga sudah sebanyak enam kali sebanyak 150 basis poin (bps) sejak September 2024. Kini, suku bunga acuan telah berada di level 4,75%, posisi terendah sejak Oktober 2022.
Selain itu, Perry menyatakan BI juga terus melakukan ekspansi likuiditas. Contohnya, volume Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) turun Rp200 triliun dari Rp916 triliun menjadi Rp716 triliun.
“Pembelian SBN Rp217 triliun. Itu juga ekspansi likuiditas dan sekaligus tentu saja membantu fiskal dalam pembiayaan fiskalnya melalui SBN,” lanjut Perry.
Tak sampai situ, BI juga menggelontorkan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) jumbo guna memperkuat dorongan pertumbuhan kredit mencapai Rp384 triliun hingga minggu pertama September 2025.
Kendati demikian, dia mengaku semua langkah itu BI lakukan dengan asas-asas prinsip kebijakan moneter yang pruden dan terukur. BI, sambungnya, tetap memperhatikan perkembangan inflasi dan stabilitas rupiah dalam menetapkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Guyuran Likuiditas ke Himbara
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan jawaban mengenai keraguan efektivitas kebijakan penempatan dana pemerintah Rp200 triliun ke bank Himbara saat kredit melambat.
Dari data terkini, per Juli 2025 kredit perbankan nasional tumbuh 7,03% YoY menjadi Rp8.043,2 triliun. Sementara, pada bulan sebelumnya tumbuh sebesar 7,77% YoY. Bahkan, jika dibandingkan dengan Juli 2024 jauh lebih rendah, di mana pada periode yang sama tahun lalu tumbuh 12,40% YoY.
Menurut Purbaya, pertanyaan mengenai guyuran dana Rp200 triliun ke Bank BUMN saat kredit melambat diibaratkan bertanya telur dan ayam lebih dulu yang mana.
“Uang duluan apa ekonomi duluan? Kalau kita lihat dari pengalaman tahun 2021 sama waktu itu juga kreditnya masih lemah kan. Waktu itu pemerintah nambah uang ke sistem, kreditnya bisa tumbuh juga. Jadi, saya pikir ketika uang bertambah ke sistem dua sisi akan bergerak. Yang pertama tentunya likuiditas bertambah,” jelasnya di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Lebih jauh, Purbaya menambahkan dengan likuiditas bank yang bertambah, secara pelan-pelan bunga di pasar akan turun. Hal ini diharapkan berdampak pada nasabah yang banyak mengincar bunga simpanan tinggi, pada akhirnya mulai membelanjakan uangnya.
Kemudian, dengan suku bunga yang mengalami penurunan, pelaku usaha akan lebih berani meminjam dana dari bank. “Artinya sisi demand and supply akan tumbuh berbarengan,” ujar Purbaya.
Dia juga menyampaikan melihat pengalaman sebelumnya, penambahan likuiditas di sistem keuangan dengan level tertentu tentunya tidak akan berdampak berlebihan. Menurutnya, base money yang akan tumbuh di atas 2 digit cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Karena demand and supply itu bersamaan tanpa menimbulkan bahaya kepanasan apa yang disebut demand pull inflation. Jadi, harusnya dengan inject seperti itu perekonomian akan berjalan,” tutup Purbaya.
