Jakarta –
Banyaknya kasus kecelakaan yang menimpa truk akhir-akhir menunjukkan dunia angkutan logistik yang carut marut dan tak kunjung terselesaikan. Di luar kelalaian sopir truk yang sering dituding sebagai penyebab kecelakaan, ternyata masih banyak masalah lain yang lebih penting, contohnya adalah masih banyaknya pungutan liar (pungli) dan kesejahteraan sopir truk yang diabaikan.
Seperti disampaikan pengamat transportasi Djoko Setijowarno, sekarang ini jumlah armada truk lebih banyak ketimbang sopir truk. Banyak sopir truk yang hengkang, lantaran tidak ada jaminan keberlangsungan.
“Upah standar pengemudi tidak ada, pengusaha pemilik barang serendahnya memberikan harga kontrak kepada pengusaha angkutan barang,” ungkap Djoko dalam keterangan resminya, Jumat (15/11/2024).
Di samping itu, kata Djoko budaya pungli di dunia angkutan logistik Indonesia masih merajalela.
Kecelakaan beruntun di tol Cipularang gegara truk Foto: Dok. Jasa Marga
“Pungli masih merajalela, (yang melakukan) mulai dari yang ‘berbaju’ hingga ‘tanpa baju’. Pengusaha angkutan barang juga masih dibebani sejumlah setoran ke oknum aparat penegak hukum. Akhirnya yang dikorbankan adalah perawatan kendaraan dan memberikan upah rendah pada pengemudi. Ujungnya, kecelakaan di jalan raya pasti akan selalu terjadi dan setiap hari pasti ada kecelakaan angkutan barang,” sambung Djoko.
Djoko mengimbau agar bisnis angkutan truk harus ditata lagi agar lebih profesional. Memiliki sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang benar sehingga proses rekruitmen pengemudi juga melalui cara-cara yang benar dan memperhatikan kompetensi, serta ada batasan jam kerja serta pendapatan minimal.
“Memang ini punya konsekuensi terhadap tarif angkutan barang. Tidak masalah, yang paling penting adalah keselamatan bertransportasi bagi semua warga terjamin,” jelasnya lagi.
Lanjut Djoko menambahkan, Pemda melalui Dinas Perhubungan wajib melakukan pembinaan, termasuk melakukan uji KIR secara rutin terhadap kendaraan angkutan umum yang ada di wilayahnya. Tentu ini tantangan baru, tapi kalau menghendaki terwujudnya keselamatan angkutan jalan itu wajib dilakukan.
“Saatnya pemerintah tidak bertindak secara reaktif saja. Ketika ada masalah teriak-teriak, tetapi setelah lewat masalahnya lupa, dan nanti teriak lagi saat muncul masalah lagi. Saatnya pemerintah bertindak secara cerdas dan terencana. Kalau sudah bertindak cerdas dan terencana, tapi kecelakaan masih terjadi, baru kita bisa bilang itu nasib. Tetapi kalau kondisi pembiaran itu terjadi terus menerus, tidak bisa dikatakan itu nasib dan tidak bisa pula kesalahannya dibebankan pada masyarakat,” tegas Djoko.
(lua/dry)