Banyak Negara Perketat Regulasi untuk Platform Digital

4 October 2023, 0:30

Warta Ekonomi, Jakarta –
Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM), Teten Masduki, mengungkapkan banyak negara di dunia seperti Uni Eropa, AS, dan India sudah mulai memperketat termasuk mengatur, membatasi, bahkan menutup kehadiran model bisnis baru di dunia e-commerce seperti yang dilakukan TikTok melalui TikTok Shop.

“Belum lama ini, pada 25 Agustus 2023, Uni Eropa mengeluarkan Digital Service Act yang mengatur secara hukum atas konten yang diposting di platform tersebut. Aturan ini juga menerapkan cara untuk mencegah dan menghapus pos yang berisi barang, layanan, atau konten ilegal. Bahkan, harus memberikan lebih banyak transparansi mengenai cara kerja algoritma mereka,” kata MenkopUKM, Teten Masduki dalam keterangannya, Selasa (3/10/2023).
Di AS, kata Menteri Teten, ada RESTRICT Act yang diusulkan pada Maret 2023 yang memungkinkan AS memblokir TikTok secara nasional bila dianggap berisiko dan menjadi ancaman bagi keamanan nasional. “Di India, mereka sudah melarang TikTok dan 58 aplikasi lain dari China dengan alasan geopolitik,” ujarnya.

Sebanyak 10 negara lain yang secara parsial melarang TikTok adalah Taiwan, Kanada, Denmark, Australia, Inggris, Prancis, Estonia, Selandia Baru, Norwegia, dan Belgia.
Baca Juga: Ekonom INDEF Sebut E-Commerce Indonesia Lebih Liberal dari Cina: Belum Ada Kewajiban untuk Tagging
Bahkan, di China sendiri, ada aturan AntiTrust Guidelines for Platform Economy (2021) dan Anti-Monopoli Regulation of Digital Platforms (2022), yang secara spesifik melarang praktik monopoli melalui penggunaan data, algoritma, dan teknologi.
“TikTok di China namanya Douyin dan Douyin Shop, tapi hanya konten lokal yang bisa masuk ke sana. Pintu mereka ditutup rapat-rapat untuk produk dari luar China. Dan, untuk berbisnis di Douyin, harus mempunyai business license China atau bermitra dengan agensi lokal,” kata Menteri Teten.
MenkopUKM menjabarkan kebijakan China dalam melindungi platform domestiknya dengan langkah menutup investasi asing untuk memberikan ruang bagi platform dalam negeri. Misalnya, di sektor e-commerce ada Alibaba, JD.Com, Tiktok Shop (Douyin), Search Engine Baidu, Messaging Apps (Tencent dan Wechat), hingga platform video (Youku Tudou dan Douyin).
Tak hanya itu, China juga membuka keran investasi asing ketika platform domestik sudah berkembang, dibatasi dengan Great Firewall (internet censorsihip), dan harus tunduk pada Cybersecurity Law.
MenkopUKM mengaku hal yang sudah dilakukan China dijadikan sebagai benchmark Indonesia dalam mengatur transformasi digital. “China memagari pasar online dari produk impor dan anti monopoli,” kata Menteri Teten.
Di antaranya, pertama, pembatasan penjualan di e-commerce dengan nilai transaksi maksimal 10 juta per pengiriman dan 54 juta per tahun untuk tiap pelanggan. Kedua, produk impor yang dijual e-commerce crossborder harus melalui bea cukai dan pajak impor dengan nilai 70 persen dari impor normal.
Ketiga, larangan menjual harga di bawah biaya (HPP) dengan denda yang cukup besar 0,1-0,5 persen dari omzet penjualan tahunan dan dapat dihentikan operasi bisnisnya.
“Keempat, di China, barang impor di pasar online wajib mematuhi regulasi penjualan produk impor, seperti sertifikasi, ISO Manufaktur, serta Labeling,” kata Menteri Teten.
Di China, kata MenkopUKM, ada beberapa UU yang mengatur e-commerce, yaitu UU Konsumen, UU Keamanan Produk, dan UU Perdagangan Elektronik. “Mereka secara spesifik melarang praktik monopoli melalui penggunaan data dan algoritma,” kata Menteri Teten.
Oleh karena itu, MenkopUKM menyebutkan revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 menjadi Permendag 31/2023 setidaknya bisa memperbaiki kelemahan kita. Regulasi tersebut memuat ketentuan yang tidak memperbolehkan adanya penyatuan platform media sosial dan e-dagang dalam satu platform, dengan kata lain tidak boleh platform menjual produknya sendiri, kecuali melakukan agregasi dengan UMKM dan tetap mencantumkan produsennya.
“Selain itu, harus memenuhi standar barang Indonesia dan dari negara asal barang, hingga crossborder online wajib menerapkan harga barang minimum di atas 100 dolar AS per unit,” kata MenkopUKM.
Perbedaan Social E-Commerce dan E-Commerce
Bagi Menteri Teten, ada beberapa alasan mengapa social media harus dipisahkan dengan e-commerce. Penyatuan sosial media dan e-commerce dalam satu platform memungkinkan terjadinya penggunaan data pribadi untuk tujuan-tujuan bisnis seperti market inteligent dan menciptakan permintaan, hingga melahirkan persaingan usaha yang tidak adil sehingga akan menimbulkan monopoli pasar.
“Alasan lain, pengaturan algoritma untuk mengarahkan traffic hanya kepada salah satu platform, bahkan ke produk tertentu milik perusahaan afiliasi platform temasuk produk asing yang terafiliasi dengan platform dan perlakuan diskriminatif terhadap penjual independen (shadow banning) di dalam platform,” kata MenkopUKM.
Dalam kesempatan itu pula, Menteri Teten menjabarkan 6 Arah Tranformasi Digital di Indonesia. Pertama, industrialisasi digital dengan menyediakan perangkat lunak, kecerdasan buatan, big data, dan komputasi awan.
Kedua, digitalisasi industri, di antaranya produktivitas, kualitas dari produksi ekonomi lama dan baru. Ketiga, tata kelola digital untuk menghadirkan pemerintahan modern.
Keempat, pengembangan nilai data dengan pemanfaatan dan penentuan hak data, perlindungan data (Data Security) untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik. Kelima, infrastruktur jaringan internet. Keenam, pengembangan talenta digital kelas dunia.

Baca Juga: E-Commerce TikTok Shop Resmi Ditutup, Gimana Nasib UMKM Indonesia?
Baca Juga: Perluas Pasar Produk Desa Secara Online dan Offline, BRI Punya Caranya Sendiri

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi