Banjir Sumatera: Pesan Penting di Balik Menyerahnya Empat Bupati Aceh
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PERISTIWA
menyerahnya empat bupati di Aceh yang tidak sanggup menangani bencana banjir dan longsor cukup menarik perhatian publik.
Bisa saja ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan para kepala daerah yang wilayahnya terdampak banjir dan longsor ini, apakah benar demikian adanya atau sekadar sindiran, kalau tidak mau disebut tamparan, terhadap pemerintah pusat.
Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh merupakan bencana kedua terbesar di Aceh setelah tsunami 26 Desember 2004.
Hingga tulisan ini selesai disusun, bencana telah merenggut 940 nyawa, 329 jiwa lainnya hilang dan 5.000 korban terluka.
Bencana juga mengisolasi puluhan desa di berbagai kabupaten. Namun, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menepis anggapan bahwa empat kepala daerah itu menyerah.
Keempat kepala daerah tersebut, yaitu Bupati Aceh Utara Ismail A. Jalil, Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, dan Bupati Aceh Tengah Haili Yoga.
Mereka secara terbuka menyatakan ketidaksanggupan menangani darurat bencana ini melalui surat resmi yang ditujukan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto.
Dari kacamata adminstrasi publik, pernyataan para kepala daerah ini bukan sekadar keluhan administratif, melainkan jeritan dari garis depan yang mengungkap celah struktural dalam sistem penanggulangan bencana nasional.
Tito Karnavian merespons dengan menegaskan bahwa para bupati bukan menyerah total, melainkan tetap berupaya semampu mereka di tengah keterbatasan.
Muncul pertanyaan, mengapa mereka sampai pada titik bernada putus asa ini? Apakah ini sindiran halus terhadap pemerintah pusat atau murni ketidakberdayaan? Apa implikasinya bagi tata kelola bencana di Indonesia?
Ketidakberdayaan yang diungkapkan para bupati ini bukanlah fenomena baru dalam sejarah bencana Indonesia. Namun, dalam kasus Aceh, ia mencapai puncak yang mengkhawatirkan.
Bupati Aceh Utara, misalnya, membandingkan banjir ini dengan tsunami 2004 yang legendaris, di mana kerusakan kali ini menjangkau 27 kecamatan, jauh lebih luas daripada wilayah pesisir yang terdampak dulu.
Jalan terputus, jembatan ambruk, dan material longsor menumpuk mengakibatkan akses darat lumpuh total.
Sementara itu, tiga bupati lainnya menghadapi situasi serupa, yakni longsor yang mengunci akses dari utara dan selatan, membuat distribusi bantuan justru menjadi mimpi buruk logistik.
Fenomena “ketidakberdayaan” para kepala daerah ini mengingatkan “absurditas” Albert Camus dalam mitos Sisyphus yang sangat terkenal itu.
Para bupati seperti Sisyphus yang mendorong batu ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya berguling kembali.
Mereka berjuang dengan sumber daya lokal yang terbatas, antara lain anggaran daerah yang tipis, minimnya peralatan darurat, dan tim SAR yang sudah kelelahan, di hadapan bencana yang skalanya melampaui kapasitas manusiawi.
Menyerah memang bukan kekalahan, melainkan pengakuan atas absurditas situasi, mengapa harus mati-matian berpura-pura ketika realitas alam begitu nyata?
Tentu saja ini bukan nihilisme, tetapi panggilan untuk solidaritas lebih besar, di mana individu (daerah) mengakui keterbatasan untuk membuka jalan bagi intervensi kolektif.
Merujuk pada teori “ketergantungan”, dalam sistem dunia modern, Aceh sebagai periferi dalam struktur ekonomi-politik Indonesia, bergantung pada pusat (Jakarta) untuk sumber daya krusial seperti dana darurat, alat berat, dan koordinasi nasional.
Ketidakberdayaan ini mencerminkan ketidakseimbangan struktural di mana daerah otonom dijanjikan kemandirian, tetapi dalam bencana, mereka tetap menjadi subordinate, bahkan terkesan dibiarkan seorang diri dan menderita.
Apakah langkah keempat bupati Aceh ini semacam sindiran? Mungkin benar secara halus.
Surat-surat yang mereka tulis dan ditujukan langsung kepada Presiden bisa dibaca sebagai kritik terhadap Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang masih sentralistik.
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) memegang kendali utama, sementara daerah hanya pelaksana lapangan.
Atau, ini murni ketidakberdayaan akibat ketiadaan anggaran dan faktor eksternal seperti perubahan iklim yang memperburuk curah hujan, deforestasi hutan lindung di Aceh yang tak terkendali, dan lambannya respons pemerintah pusat.
Dari perspektif sosiologi, para bupati kehilangan “modal simbolik”, yakni kemampuan untuk tampil sebagai pemimpin kuat karena struktur sosial yang menempatkan mereka di posisi lemah.
Harus digarisbawahi bahwa mereka menyerah bukan karena malas, tetapi karena sistem yang gagal memberi mereka alat untuk bertahan.
Bupati Aceh Utara secara eksplisit memohon intervensi Presiden Prabowo Subianto, menyoroti bahwa banjir ini telah “melebihi tsunami 2004.”
Ini adalah seruan untuk deklarasi status darurat nasional, yang akan membuka akses ke dana cadangan negara, dukungan militer (seperti evakuasi udara TNI), dan bantuan internasional jika diperlukan.
Lebih dalam, pesan ini adalah kritik terhadap desentralisasi yang setengah hati dengan jargon terkenal, “dilepas kepalanya tetapi dipegang ekornya”.
Dengan kata lain, otonomi daerah memberikan tanggung jawab besar, tetapi tanpa dukungan finansial dan teknis yang memadai.
Mereka, keempat kepala daerah itu, ingin menyuarakan dengan lantang bahwa bencana seperti ini adalah isu nasional, bukan regional apalagi lokal, terutama di Aceh yang masih trauma pasca-konflik dan rekonstruksi tsunami.
Mendagri Tito merespons saat
zoom meeting
nasional, meminta daerah lain bahu membahu, tetapi ini terasa seperti pengalihan dengan satu pertanyaan besar; mengapa pusat tidak langsung turun tangan dengan skala penuh?
Padahal, respons ideal pemerintah pusat harus mengikuti prinsip
golden hour
dalam penanggulangan bencana, yaitu aksi cepat dalam 72 jam pertama untuk meminimalkan korban yang notabene rakyat sendiri.
Pertama, deklarasikan status darurat nasional sejak hari pertama, seperti yang dilakukan pada tsunami 2004, untuk memobilisasi BNPB, TNI, Polri, dan relawan secara masif.
Kedua, prioritaskan evakuasi dan distribusi bantuan melalui jalur udara dan laut, mengingat akses darat lumpuh, gunakan helikopter untuk men-
drop
logistik dan tim medis.
Ketiga, alokasikan dana darurat secara transparan, termasuk rekonstruksi infrastruktur seperti jembatan dan jalan, sambil mengintegrasikan pendekatan mitigasi jangka panjang seperti reboisasi dan sistem peringatan dini.
Keempat, libatkan komunitas lokal dan NGO internasional untuk membangun resiliensi, bukan hanya sekadar respons reaktif.
Apakah ada indikasi pemerintah pusat kewalahan dalam melakukan penangangan bencana Aceh, juga Sumatera Utara dan Sumatera Barat?
Meski tidak diakui secara terbuka, jawabannya mungkin saja “ya”. Konferensi pers Tito Karnavian di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, misalnya, menunjukkan koordinasi sedang berjalan, tetapi jelas lambat.
Hingga 6 Desember 2025, desa-desa masih terisolasi, dan korban hilang belum juga ditemukan.
Pemerintah pusat tampak seolah-olah bergantung pada
zoom meeting
dan seruan solidaritas daerah lain, alih-alih intervensi langsung seperti
deployment
pasukan besar-besaran.
Ini bisa jadi karena beban multi-bencana, yaitu banjir yang juga melanda Sumatera Utara dan Sumatera Barat, meski fokus pada Aceh.
Atau keterbatasan anggaran di tengah prioritas lain seperti pembangunan IKN atau program andalan yang diusung pemerintahan saat ini?
Namun, kewalahan ini bukan alasan. Ia adalah panggilan untuk reformasi sistem, di mana pusat tidak lagi menjadi pahlawan terakhir, melainkan mitra proaktif bagi daerah.
Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani mengatakan, fenomena siklon tropis “Senyar” yang membawa hujan bulanan dalam tiga hari menjadi pemicu utama terjadinya bencana.
Namun, seperti yang diungkap Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), akar masalahnya lebih dalam lagi, yakni deforestasi masif dan hilangnya fungsi hidrologis hulu sungai akibat eksploitasi hutan untuk lahan perkebunan sawit dan proyek PLTA.
Pengamat menyebut bencana ini sebagai “dosa ekologis” yang membuat lahan tidak lagi mampu menahan air, memperparah banjir bandang. Bencana akibat ulah manusia sendiri.
Manajemen BNPB seolah-olah tidak berfungsi karena terlambat bertindak dan tidak terkoordinasi.
Penyebabnya bisa saja pengurangan anggaran BNPB, efisiensi ala pemerintahan baru, yang membuat sumber daya mengecil.
Hasilnya? Akses jalan putus total di Tapanuli Tengah (50 km longsor), jembatan ambruk di Aceh Tamiang, dan desa-desa terisolasi seperti di Bener Meriah, yang hanya bisa dijangkau helikopter.
Benar, manajemen seperti amburadul. Bukan karena alam semata, tetapi karena persiapan yang terkesan setengah hati.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menyebut situasi “mencekam”
banjir Sumatera
“hanya berseliweran di media sosial.”
Pernyataan yang terlontar pada 28 November 2025, terdengar seperti mengecilkan duka, saat warga menderita terisolasi, listrik padam, telekomunikasi lumpuh serta melalui siang dan malam dikepung air yang meluap.
Dalam situasi
chaos
seperti ini pemerintah seharusnya lebih meningkatkan komunikasi positif, bukan defensif.
Komunikasi antarpejabat seperti
zoom meeting
nasional ala Mendagri Tito Karnavian terasa seperti formalitas, sementara bupati-bupati Aceh “menyerah” via surat karena tidak ada respons cepat.
Namun di sisi lain, daerah juga sebaiknya transparan dan menyederhanakan birokrasi terkait pendistribusian aneka bantuan, baik yang berasal dari domestik maupun luar negeri yang diperuntukkan bagi masyarakat korban banjir.
Dalam kondisi bencana luar biasa yang terjadi saat ini, ego sektoral dan kekakuan administratif, apalagi masih adanya niat ‘memainkan’ aneka bantuan tersebut justru hanya akan menambah penderitaan rakyat dan akhirnya akan merusak reputasi daerah itu sendiri ke depannya.
Bencana Aceh 2025 bukan hanya tragedi alam, tetapi cermin kegagalan kolektif. Jika tidak diatasi dengan serius, “menyerah” akan menjadi norma baru bagi daerah-daerah pinggiran.
Saatnya pemerintah pusat mendengar jeritan itu bukan sebagai keluhan, tetapi sebagai mandat untuk segera melakukan perubahan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Banjir Sumatera: Pesan Penting di Balik Menyerahnya Empat Bupati Aceh Nasional 8 Desember 2025
/data/photo/2025/12/08/6935fdf035965.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)