Jakarta, Beritasatu.com – Sejak pertama kali digaungkan, pemerintah belum kunjung menerapkan aturan pajak karbon di Indonesia. Hingga saat ini, pemerintah mengaku masih dalam tahap diskusi untuk mengkaji aturan implementatif pajak karbon.
Padahal, selain menjadi solusi untuk menjaga lingkungan dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), pajak karbon dapat menambah pendapatan negara tanpa membebani masyarakat luas seperti pajak pertambahan nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 12%.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam sesi doorstop seusai wawancara eksklusif bersama BTV Program Beritasatu Special, Rabu (18/12/2024).
“Dari pemerintah, kami butuh diskusi satu hingga dua putaran lagi. Masih dalam satu hingga dua putaran lagi supaya ada aturan implementatifnya,” ungkap Bahlil.
Bahlil menyebut, saat ini pihaknya masih terus melakukan diskusi bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni terkait aturan pajak karbon di Indonesia.
“Pajak karbon itu kan bicara dengan menteri keuangan, menteri ESDM sama menteri kehutanan, kami butuh satu hingga dua putaran lagi,” ucapnya.
Adapun baru-baru ini, ramai masyarakat memprotes kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif PPN sebesar 1% dari 115 menjadi 12% yang memukul hampir seluruh sektor industri di Indonesia.
Sejumlah pakar menilai, opsi meningkatkan penerimaan negara tak harus membebani masyarakat dengan kenaikan tarif PPN. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan opsi lain, seperti penerapan pajak karbon, yang landasan hukumnya juga sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).