Surabaya (beritajatim.com) – Anggota Komisi C DPRD Surabaya dari Fraksi Golkar, Achmad Nurdjayanto mengkritisi minimnya perawatan saluran yang telah dibangun dan mendorong pemerintah kota (pemkot) untuk mencari solusi inovatif. Hal ini untuk mengatasi masalah banjir yang terus menghantui Kota Surabaya meski pembangunan saluran sudah menyerap anggaran besar.
Achmad menyebut perlunya Pemerintah Kota (Pemkot) memiliki alat penyedot sedimen untun membersihkan saluran air secara efektif. Ia menilai perawatan saluran yang memadai dapat mencegah terjadinya sedimentasi yang mengurangi daya tampung air di saluran.
“Dengan melakukan perawatan, pemkot juga bisa memiliki data kondisi saluran sehingga langkah-langkah preventif bisa diambil dengan cepat ketika terjadi kendala,” ujar Achmad, Rabu (15/1/2025).
Achmad menjelaskan bahwa pemkot telah membangun saluran box culvert di 80% wilayah Surabaya, namun hal itu belum cukup tanpa perawatan yang terencana. Menurutnya, sebagian besar pembersihan saluran masih mengandalkan tenaga manual, yang dianggap tidak efisien untuk kota sebesar Surabaya.
“Hari ini, pembersihan saluran masih banyak mengandalkan tenaga manusia. Untuk kota sebesar Surabaya, cara ini sudah tidak relevan. Pemkot perlu berinovasi dengan menyediakan mesin penyedot lumpur (sedimen) yang lebih efisien. Idealnya, setiap kelurahan memiliki satu unit yang dapat digunakan secara bergilir,” ungkapnya.
Achmad menyebut bahwa pengadaan alat penyedot sedimen lebih hemat dibandingkan membangun infrastruktur baru seperti box culvert atau meninggikan jalan. Ia juga menyarankan penggunaan sumur vertikal sebagai penampung air hujan untuk mengurangi debit air yang masuk ke saluran.
“Beberapa daerah di Indonesia ini juga sudah memiliki alat itu, bahkan Kementerian PU juga sudah memiliki alat itu,” ujarnya.
Selain itu, ia mengusulkan pembangunan sumur vertikal dengan diameter besar sebagai tempat penampungan air saat hujan dan cadangan air saat musim kemarau. Menurutnya, konsep ini sudah diterapkan di Jepang dengan pipa resapan vertikal hingga kedalaman 20 meter.
“Pemkot bisa membuat sistem pipa resapan vertikal, seperti yang dilakukan di Jepang. Pipa vertikal dengan kedalaman 20 meter bisa menjadi solusi yang lebih cepat dan efektif,” paparnya.
Achmad juga mengungkapkan perlunya normalisasi saluran primer seperti di kawasan Menur dan Banyu Urip, yang mengalami sedimentasi tinggi. Ia menilai bahwa tenaga manusia tidak lagi cukup untuk menangani saluran besar seperti itu.
“Volume air di saluran besar sering kali berkurang akibat sedimentasi tinggi, sehingga air meluber ke jalan. Harapannya, pemkot segera mengambil langkah inovatif dengan menggunakan alat modern untuk membersihkan saluran tersebut,” katanya.
Dengan anggaran penanganan banjir sebesar Rp1,4 triliun, ia berharap pemerintah kota dapat mengalokasikan sebagian dana untuk pengadaan alat dan solusi modern ini. Menurutnya, langkah tersebut tidak hanya efektif tetapi juga mampu mengurangi potensi kerugian akibat banjir di masa depan.(ADV)
