Asosiasi Ungkap Sederet Tantangan di Industri Penerbangan, dari Jumlah Pesawat Susut hingga…

28 October 2023, 11:18

TEMPO.CO, Jakarta – Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia atau Apjapi mengungkapkan beberapa tantangan di industri penerbangan. Apa saja?”Banyak tantangan yang dihadapi maskapai kita,” kata Ketua Apjapi Alvin Lie dalam seminar di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat pada Jumat, 27 Juli 2023.Pertama adalah berkurangnya jumlah pesawat yang beroperasi. Ihwalnya, ketika pandemi Covid-19 banyak pesawat diistirahatkan karena ada pembatasan. Saat pandemi berakhir dan pesawat akan digunakan, pihak maskapai harus mengganti suku cadang pesawat-pesawat yang telah diistirahatkan selama beberapa waktu itu. Akibatnya, lanjut Alvin, terjadi kelangkaan suku cadang karena produsen tidak bisa serta merta menaikkan kuantitas produksi. Selain itu, fasilitas maintenance, repair, and overhaul (MRO) atau bengkel pesawat juga tidak bisa menaikkan kapasitasnya. Dengan demikian, terjadi antrian panjang MRO. Inilah, menurut Alvin, yang membuat jumlah pesawat di Indonesia banyak tapi yang beroperasi sedikit.”Sebelum pandemi, pesawat yang beroperasi 600 unit. Selama pandemi susut ke 300-an dan pada saat ini sudah mulai tumbuh yang statusnya serviceable mencapai 419 unit, tapi masih di bawah level pra pandemi,” tutur dia.Sebagai perbandingan berdasarkan data Kemenhub per 26 Oktober 2023 yang ditayangkan dalam acara seminar ini, ada 584 unit pesawat di Indonesia yang digunakan untuk kegiatan penerbangan niaga. Adapun yang tidak beroperasi ada 165 unit.”Tantangan berikutnya nilai tukar rupiah. Pekan-pekan ini nilai tukar sudah mendekati Rp 16.000, padahal biaya operasi maskapai tak lepas dari ini,” ujar dia.Iklan

Lebih lanjut, dia menyebut ada tiga unsur utama dalam biaya operasi maskapai penerbangan. Pertama adalah bahan bakar pesawat atau avtur yang menyumbang sekitar 36 persen dari biaya operasi. Kemudian ada pemeliharaan sekitar 16 persen dan sewa pesawat atau penyusutan sebesar 14 persen. Jadi totalnya adalah 66 persen. Selain itu, kata dia, pemeliharaan pesawat membutuhkan suku cadang yang dihargai dalam mata uang dolar AS atau euro. Transaksi sewa pesawat dan avtur juga menggunakan valuta asing. Sehingga ini akan mengikuti fluktuasi kurs rupiah.”Jadi ketika rupiah melemah, ini menjadi beban yang cukup serius bagi maskapai penerbangan, terutama maskapai penerbangan di Indonesia ini hidupnya dari rute domestik,” ujar dia. Dia menjelaskan, tiket rute domestik dijual dalam rupiah. Sedangkan biaya-biaya yang dikeluarkan maskapai banyak yang dalam dolar AS. “Jadi di atas kertas kelihatannya laba, tapi prakteknya belum tentu laba. Ini menjadi tantangan yang dihadapi oleh maskapai penerbangan sehari-hari,” tutur dia.Pilihan Editor: Pertama di Indonesia, Maskapai Garuda Indonesia Operasikan Penerbangan Komersial dengan Energi Terbarukan

Partai

Institusi

K / L

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi