Surabaya (beritajatim.com) – Pagi itu, Gatot Setyabudi berdiri di depan kantor Kelurahan Kebraon, Kecamatan Karang Pilang, Kota Surabaya, sambil menenteng map biru berisi berkas izin sewa lahan. Keringat membasahi pelipisnya, bukan karena terik matahari, tapi karena sudah berulang kali menunggu tanpa kepastian.
Di layar berita, dia sering mendengar Pemerintah Kota Surabaya berbicara tentang digitalisasi pengelolaan aset daerah, tentang efisiensi, transparansi, dan modernisasi. Namun, di hadapan meja birokrasi, semua jargon itu dirasakannya seperti ilusi.
“Permohonan kami sudah lengkap tapi ditolak tanpa alasan jelas,” ujar Gatot.
Dia dan beberapa warga Kebraon hanya ingin memanfaatkan lahan kosong milik Balai Teknik Kesehatan Daerah (BTKD) yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. Ironisnya, lahan itu justru termasuk dalam kategori idle asset, aset tidur yang tengah gencar dibahas Pemkot karena tak menghasilkan apa pun bagi kas daerah.
Kisah Gatot bukan satu-satunya. Dia hanyalah satu nama dari ribuan warga yang tanpa sadar menjadi korban sistem pengelolaan aset yang belum sepenuhnya beranjak dari cara lama.
Di balik data rapi dan peta digital yang dipamerkan dalam presentasi resmi, masih terselip tumpukan berkas, tanda tangan yang tertunda, dan koordinasi antardinas yang saling tumpang tindih.
Sikdasda adalah Jawaban
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Surabaya, Wiwiek Widyawati, mengakui bahwa sebagian besar aset pemerintah belum dimanfaatkan secara optimal. Dari 8.452 aset yang tercatat, sebanyak 598 di antaranya masih berupa lahan kosong.
“Kami tidak ingin lagi aset pemerintah hanya jadi catatan inventaris. Semua harus produktif, Sikdasda adalah jawabannya,” kata dia.
Sikdasda, atau Sistem Informasi dan Pengelolaan Aset Daerah, menjadi kebanggaan baru Pemkot. Sistem ini disebut-sebut akan memangkas birokrasi, mencegah data ganda, dan membuka peluang investasi melalui etalase digital aset daerah. Namun di lapangan, warga seperti Gatot belum merasakan dampaknya.
“Digitalisasi tanpa perubahan mental birokrasi itu seperti membuat etalase cantik untuk toko yang tidak melayani pelanggan,” ujar Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Pdt. Rio Pattiselanno.
Dia menilai, masalah sebenarnya bukan pada sistem, melainkan pada cara kerja manusia di baliknya. Rio menuturkan, aset daerah harus diperlakukan sebagai sumber daya strategis.
“Aset yang dibiarkan mati hanya menambah beban, tapi kalau dikelola dengan pola modern, bisa jadi mesin ekonomi baru dan membuka lapangan kerja,” tutur politisi PSI ini.
Pendekatan Kreatif
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Dr. Syofyan Hadi, menilai kondisi ini mencerminkan lemahnya tata kelola birokrasi. Menurut dia, ada banyak aset yang belum tersertifikasi, masih bersengketa, atau bahkan dikuasai pihak lain.
“BPKAD perlu diperkuat lewat unit seperti Jakarta Asset Management Centre (JAMC), agar fokus dalam mengelola aset secara profesional,” ujar Syofyan.
Dia juga mengusulkan agar pemanfaatan aset dilakukan dengan pendekatan kreatif, misalnya untuk creative hub atau program padat karya. “Tidak semua aset harus dikomersialisasi. Sebagian bisa dikembalikan manfaatnya untuk masyarakat,” tambah dia.
Gatot dan warga Kebraon telah mengirim surat ke lurah dan camat, tapi tidak pernah direspon. Saat hearing di DPRD Surabaya, terungkap perbedaan data antara BPKAD dan Dinas Perumahan terkait fungsi lahan, satu menyebut jalur hijau, yang lain menyebut zona perdagangan dan jasa.
“Ini contoh klasik bagaimana birokrasi kita belum satu suara. Akhirnya warga yang dirugikan,” kata salah satu anggota Komisi B DPRD Surabaya.
Hearing itu menghasilkan rekomendasi agar BPKAD membuka kembali izin sewa warga sesuai prosedur, dan seluruh aset tanpa izin ditertibkan. Namun, prosesnya belum berlanjut.
Birokrasi yang Melayani
Kasus Kebraon menunjukkan bahwa sistem digital tak bisa sepenuhnya menggantikan pelayanan publik yang lambat. Ketika data antar instansi tak sinkron, teknologi hanya jadi etalase.
“Digitalisasi itu bukan ujung tapi alat bantu. Tanpa reformasi birokrasi, dia hanya kosmetik,” ujar Syofyan Hadi.
Sementara itu, Wiwiek tetap yakin digitalisasi akan menjadi jalan keluar. Menurut dia, jika seluruh OPD bersinergi dan masyarakat diberi ruang partisipasi, aset yang selama ini ‘tidur’ bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi kota.
“Surabaya punya potensi luar biasa. Kalau dikelola dengan manajemen modern, aset tidur bisa jadi mesin uang untuk membiayai pembangunan kota. Kita harus bergerak cepat,” tutur dia.
Namun, bagi Gatot dan warga lain, digitalisasi belum berarti apa-apa selama keputusan izin masih bergantung pada tanda tangan pejabat yang sulit ditemui. Di layar komputer, sistem boleh bekerja otomatis. Tapi di dunia nyata, warga masih harus mengetuk pintu demi pintu hanya untuk mendapat jawaban.
Digitalisasi mungkin membuat data lebih rapi tapi kisah Gatot mengingatkan: yang paling penting dari tata kelola aset bukanlah dashboard atau sistem canggih, melainkan empati dan kemauan birokrasi untuk benar-benar melayani. [rio/but]
DATA ASET PEMKOT SURABAYA
Total Aset:
8.452 aset terdaftar secara register
4.058 persil (tanah & bangunan, di luar jalan & saluran)
598 lokasi lahan kosong belum dimanfaatkan
Status Sertifikasi (2023):
5.312 aset sudah tersertifikasi
±1.000 aset dengan IPT belum diperbarui
32 aset masih dalam sengketa hukum
Target 2024: tambahan 1.100 aset tersertifikasi
Target PAD dari Aset (2025):
Rp121 miliar (dari total retribusi Rp486 miliar)
Strategi: Digitalisasi (Sikdasda), Promosi Agresif, Restrukturisasi Organisasi
