Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Amerika Serikat (AS) untuk pertama kalinya meminta OpenAI menyerahkan data pengguna ChatGPT dalam penyelidikan kriminal. AS menjadikan prompt ChatGPT sebagai alat penyelidikan dan ini merupakan yang pertama di dunia.
Permintaan tersebut terungkap dalam surat perintah pencarian (search warrant) yang baru saja dibuka di pengadilan Maine pekan lalu, dan menunjukkan bagaimana lembaga penegak hukum kini mulai memanfaatkan data dari platform kecerdasan buatan (AI) dalam investigasi.
Menurut dokumen yang diperoleh Forbes, permintaan data itu diajukan oleh Homeland Security Investigations (HSI), unit di bawah U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE) yang berfokus pada eksploitasi anak, kejahatan siber, dan perdagangan manusia.
Mereka tengah menyelidiki seorang administrator situs eksploitasi anak di dark web yang telah lama diburu sejak 2019. Dalam upaya penyamaran, agen federal berinteraksi langsung dengan administrator tersebut di salah satu situs gelap.
Di tengah percakapan, tersangka tanpa sadar mengungkap bahwa ia menggunakan ChatGPT. Dia bahkan membagikan beberapa prompt dan tanggapan dari ChatGPT, di antaranya percakapan ringan seperti, “Apa yang akan terjadi jika Sherlock Holmes bertemu Q dari Star Trek?”
Dalam percakapan lain, tersangka juga menyebut pernah meminta ChatGPT menulis puisi sepanjang 200.000 kata dan mendapat contoh puisi bergaya Donald Trump yang lucu dan berlebihan.
Informasi inilah yang mendorong pemerintah meminta OpenAI menyerahkan berbagai data terkait pengguna tersebut, termasuk riwayat percakapan lain, nama, alamat, serta data pembayaran yang terhubung dengan akun ChatGPT terkait.
Kasus ini menjadi contoh pertama bagaimana aparat hukum AS dapat menggunakan data prompt ChatGPT sebagai alat bantu penyelidikan.
Sebelumnya, lembaga seperti Google sudah beberapa kali diminta menyerahkan data pengguna berdasarkan kata kunci pencarian tertentu, namun belum pernah terjadi pada platform AI generatif seperti ChatGPT. Meski begitu, OpenAI bukanlah kunci utama dalam pengungkapan identitas pelaku.
Penyelidik ternyata berhasil mengidentifikasi tersangka melalui informasi pribadi yang ia ungkap sendiri selama obrolan penyamaran, termasuk dirinya pernah tinggal tujuh tahun di Jerman, menjalani pemeriksaan kesehatan militer, dan memiliki ayah yang pernah bertugas di Afghanistan.
Dari data tersebut, mereka menelusuri keterkaitan tersangka dengan pangkalan militer Ramstein Air Force Base di Jerman dan pekerjaannya di bawah Departemen Pertahanan AS. Akhirnya, pemerintah menuduh seorang pria berusia 36 tahun bernama Drew Hoehner sebagai administrator situs tersebut.
Dia didakwa dengan satu tuduhan konspirasi untuk mengiklankan materi eksploitasi seksual anak (CSAM). Hingga berita ini diturunkan, Hoehner belum mengajukan pembelaan, sementara pengacaranya belum memberikan komentar.
Dokumen pengadilan menunjukkan bahwa HSI percaya Hoehner merupakan moderator atau administrator di sekitar 15 situs dark web berisi materi pelecehan anak, dengan total pengguna lebih dari 300.000 akun.
Situs-situs tersebut beroperasi di jaringan Tor yang mengenkripsi lalu lintas pengguna agar sulit dilacak. Beberapa di antaranya bahkan memiliki kategori khusus untuk konten ilegal yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan.
Belum diketahui jenis data apa saja yang diserahkan OpenAI kepada pemerintah. Namun catatan menunjukkan bahwa perusahaan mengirimkan satu berkas Excel spreadsheet berisi informasi pengguna. Tidak ada rincian lebih lanjut, dan Departemen Kehakiman AS belum menanggapi permintaan konfirmasi. Data itu kemungkinan akan digunakan untuk memperkuat bukti identitas tersangka di pengadilan.
Meski permintaan data ini terbatas hanya pada dua prompt, para ahli menilai kasus ini menunjukkan tren baru di mana aparat hukum mulai memanfaatkan platform AI untuk mencari bukti kejahatan.
Penasihat hukum dari Electronic Frontier Foundation (EFF) Jennifer Lynch mengatakan kasus ini menjadi pengingat penting bagi perusahaan AI.
“Ini menunjukkan semakin besarnya peran ChatGPT dalam penyelidikan kriminal. Karena itu, perusahaan seperti OpenAI perlu lebih berhati-hati dan membatasi data pengguna yang mereka kumpulkan,” katanya.
Menurut data OpenAI, antara Juli hingga Desember tahun lalu, perusahaan melaporkan 31.500 konten terkait eksploitasi anak ke National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) sesuai kewajiban hukum di AS. Dalam periode yang sama, OpenAI menerima 71 permintaan pemerintah untuk mengakses data pengguna, mencakup 132 akun.
