Aqua Disebut Ambil Air dari Sumur Bor, Ini Kata Ahli Geologi UGM soal ‘Akuifer Dalam’

Aqua Disebut Ambil Air dari Sumur Bor, Ini Kata Ahli Geologi UGM soal ‘Akuifer Dalam’

Jakarta

Belakangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Aqua tengah disorot setelah dituding sumber air digunakan berasal dari air sumur bor atau air tanah dangkal. Terkait hal ini, pihak Danone juga menegaskan bahwa sumber air yang digunakan bukan berasal dari sumur bor biasa atau air tanah dangkal, melainkan dari akuifer dalam lapisan air tanah alami

“Air ini terlindungi secara alami dan telah melalui proses seleksi serta kajian ilmiah oleh para ahli dari UGM dan Unpad. Sebagian titik sumber bahkan bersifat self-flowing atau mengalir secara alami,” jelas Aqua dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (23/10/2025).

Apa yang dimaksud akuifer?

Guru Besar Teknologi Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Ir Heru Hendrayana mengatakan pada dasarnya air itu ada yang namanya air permukaan dan air tanah. Air permukaan adalah air yang terlihat di atas permukaan bumi, seperti sungai, danau, atau kolam.

Sementara itu, lanjutnya, air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan bumi, yang tidak dapat kita lihat langsung, karena tersimpan di dalam batuan. Batuan yang menyimpan air inilah yang disebut akuifer. Jadi, akuifer adalah batuan yang mengandung air di bawah permukaan bumi.

Secara umum, kualitas air tanah lebih baik dibandingkan air permukaan. Menurutnya, hal ini karena air tanah mengalami proses penyaringan alami saat melewati pori-pori batuan, sehingga terjadi purifikasi alami. Air tanah sendiri juga dibedakan menjadi air tanah dangkal dan air tanah dalam.

“Air tanah dangkal itu adalah air tanah yang di dalam bumi tadi tapi relatif dangkal, kira-kira ya 30-20 meter atau 10 meter yang diambil sumur-sumur penduduk itu yang kita ambil, nah itu disebut air tanah dangkal,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Jumat (24/10/2025).

“Nah itu juga masih rawan terhadap kualitas polutan atau polusi dari permukaan, karena relatif dangkal masih banyak dipengaruhi oleh limbah dari air sungai, dari semua aktivitas manusia, itu banyak mempengaruhi oleh air tanah dangkal yang tadi 20 meter, 30 meter. nah itu kualitasnya buruk gitu ya,” lanjutnya.

Sementara itu, air tanah dalam terdapat pada kedalaman sekitar 70 hingga 200 meter atau lebih. Air ini relatif terlindungi dari pengaruh aktivitas manusia sehingga kualitasnya jauh lebih baik. Air tanah dalam biasanya diperoleh melalui proses pengeboran dan umumnya digunakan oleh industri atau perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK).

“Nah air tanah dalam ini biasanya diambil dengan pengeboran, pengeboran dalam, airnya pasti bagus ya, dengan kualitas yang bagus tadi,” ucapnya lagi.

Prof Heru juga menjelaskan istilah air pegunungan yang diklaim oleh sejumlah produsen AMDK. Menurutnya, air tanah dalam bisa disebut air pegunungan jika memang asalnya dari wilayah pegunungan. Untuk membuktikan hal tersebut diperlukan penelitian ilmiah yang cukup panjang, meliputi analisis kimia, isotop, serta kajian bawah permukaan.

“Jadi air pegunungan itu adalah air yang berasal dari pegunungan, pasti ya, jelas ya. nah pertanyaannya, apakah air pegunungan itu harus di gunung? tidak. tidak harus di gunung, bisa di lerengnya, bisa di datarannya, bisa di puncaknya, di tubuh gunung, itu bisa asal bisa dibuktikan asal usul air tanah tadi,” kata Prof Heru.

“Air tanah itu kayak manusia, punya DNA. kalau DNA kita tau ini anaknya siapa, air tanah itu begitu. jadi air tanah itu bisa dideteksi asal usulnya dari mana, itu biasanya dengan isotop. nah, jadi misalnya dia di lereng gunung A, bisa gak dibuktikan dia dari gunung A? bisa, tapi dengan cara metode tadi,” lanjutnya.

Terkait mata air pegunungan, Prof Heru mengatakan istilah ini mengacu pada lokasi keluarnya air, yaitu di kawasan pegunungan. Menurutnya, tidak semua mata air pegunungan otomatis berasal dari air pegunungan. Bisa saja itu adalah air hujan yang langsung meresap ke tanah dan keluar kembali di sekitar lereng, sehingga termasuk air tanah dangkal.

“Jadi sekali lagi tidak harus di pegunungan sumbernya. misalnya saya ngebor di lereng Merapi atau lereng gunung, boleh gak, bisa gak itu saya katakan air pegunungan? belum tentu, harus di cek dulu tadi. terus di ngebor di datarannya, ini dari gunung, belum tentu, harus dicek dulu asal usulnya. nah gitu ya, jadi air pegunungan itu harus melalui sebuah penelitian,” tuturnya lagi.

“jadi air pegunungan itu harus diidentifikasi dengan metode, tidak harus di gunung, tidak harus di datar, di gunung pun belum tentu air pegunungan, ini secara ilmiahnya begitu,” lanjutnya.

Di sisi lain, Prof Heru mengatakan perusahaan besar yang mencantumkan label air pegunungan pada produknya umumnya telah melalui proses penelitian dan pembuktian ilmiah yang ketat. Label tersebut tidak bisa digunakan sembarangan karena harus disertai data pendukung yang menunjukkan asal-usul airnya benar-benar dari kawasan pegunungan.

“Jadi perindustrian atau yang labeling itu ya, kalau menyebutkan air pegunungan itu harus ada supportingnya, supporting bahwa dia air pegunungan, itu harus ada. nah, jadi kalau perusahaan-perusahaan besar yang melakukan apa, mencantumkan dari pegunungan itu, pasti sudah mempunyai itu,” lanjutnya.

Halaman 2 dari 3

Simak Video “Aturan BPA di Indonesia, Jadi Tanggung Jawab Siapa?”
[Gambas:Video 20detik]
(suc/up)