Antraks Merebak Lagi di Gunungkidul, RI Belum Mampu Tuntaskan Wabah?

6 July 2023, 10:07

Jakarta, CNN Indonesia — Penyakit antraks kembali merebak di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Para korban terjangkit virus ini setelah mengkonsumsi daging sapi yang tidak sehat atau mati karena sakit.
Kemenkes mencatat terdapat 93 warga yang terindikasi positif terkena antraks dan tiga orang di antaranya meninggal dunia. Data berbeda diungkap oleh Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto yang mengatakan hanya satu warganya meninggal dunia.
Sebetulnya bukan kali ini saja penyebaran antraks merebak di Gunungkidul. Pada 2022 lalu tercatat 23 warga Gunungkidul, DIY diduga terjangkit antraks setelah sejumlah hewan ternak mati karena penyakit tersebut.

Sementara pada Desember 2019 lalu kawasan ini mencatat 27 orang positif antraks. Imbas seringnya kawasan ini terserang antraks, Kementerian Kesehatan sempat menetapkan merebaknya antraks di Gunungkidul sebagai kejadian luar biasa (KLB) pada Januari 2020 lalu.

Bila disorot lebih jauh, data Profil Kesehatan Indonesia yang diterbitkan Kemenkes pada 2018 mencatat pada periode 2011-2018 ditemukan 263 kasus antraks yang menular pada manusia di pelbagai daerah Indonesia. Dari jumlah itu, lima orang meninggal dunia.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama menjelaskan antraks merupakan penyakit lama yang beberapa kali menyerang sejumlah daerah di Indonesia.
“Memang sejak lama kasus antraks ini menyerang berbagai daerah, antara lain tercatat pada 2010 di Maros dan pada 2011 di Boyolali,” kaya Yoga, Rabu (5/7).
Yoga menjelaskan antraks merupakan penyakit hewan menular bersifat zoonosis, yang artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia.
Manifestasi penyakit ini jika menular di manusia ada tiga jenis. Pertama adalah antraks kulit. Ini merupakan jenis antraks yang paling sering terjadi, tetapi tidak berbahaya. Jenis ke dua adalah antraks pencernaan serta yang ke tiga adalah antraks paru yang pada sebagian kasus dapat menjadi berat, menyebabkan meningitis dan bahkan kematian.
“Karena antraks adalah zoonosis dan bahkan juga ada di tanah, maka penanganannya harus melalui pendekatan One Health, yang merupakan kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan,” kata Yoga.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman melihat kawasan Gunungkidul selama ini jadi kawasan endemik antraks. Ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari persoalan lingkungan, kebersihan hingga iklim.
“Ada wilayah belt atau daerah sabuk artinya endemik antraks antara lain di situ. Antraks itu sulit untuk dibasmi karena bicara spora. Banyak hal berpengaruh. Masalah lingkungan juga. Sangat sulit karena alamnya kering, jadi daerah jarang terjamah,” kata Dicky, Kamis (6/7).
Dicky mengatakan merebaknya antraks di Gunungkidul membuktikan Indonesia belum mampu menyelesaikan wabah dengan tuntas. Terlebih, wabah antraks kerap terjadi di kawasan-kawasan yang personal hygiene atau upaya merawat/memelihara kesehatan masih buruk.
“Dan penanganannya enggak hanya di manusia saja. Tapi di hewan. Ada kasus antraks ini harus jadi KLB di lokasi itu untuk emergency dan bisa ditelusuri dan sumbernya jelas,” kata dia.
Guna meminimalisir penyebaran antraks, Dicky menilai tak cukup sekadar mengandalkan kemampuan mendeteksi semata.
Harus ada langkah lanjutan seperti meningkatkan literasi kesehatan bagi para peternak, perbaikan sanitasi lingkungan hingga menggunakan pendekatan One Heath.
“One Health, bagaimana sinergikan kesehatan manusia hewan dan lingkungan. Tapi ini masih jadi PR bagaimana detail kesehatan manusia hewan dan lingkungan. Karena lintas sektor, perlu konsistensi,” kata dia.
Sentralisasi rumah potong
Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan salah satu penyebab masih marak wabah antraks di Indonesia lantaran warga masih memiliki keleluasaan memotong dan mendistribusikan hewan ternaknya di sembarang tempat.
Padahal, ia mengatakan belum tentu hewan yang disembelihnya itu masuk dalam kategori sehat. Baginya, kondisi seperti demikian menyulitkan pengawasan untuk mengidentifikasi kesehatan hewan ternak dari pihak pemerintah. Terlebih, personel pemerintah masih terbilang minim.
“Indonesia, kan, hewan-hewan itu bisa disembelih di sembarang tempat, di masjid, di rumah. Jadi kan petugas enggak mungkin bisa mengawasi dengan baik kalau kebiasaan ini terus terjadi. Karena dinas peternakan tak mungkin punya petugas sebanyak itu,” kata Windhu.
Windhu menekankan pentingnya sentralisasi rumah pemotongan hewan (RPH) agar pengawasan dari pemerintah bisa lebih optimal.

Dengan sentralisasi RPH, hewan-hewan sebelum disembelih dapat melalui pengecekan kesehatan dari petugas. Bila tak lolos kesehatan, hewan tersebut dapat disembuhkan terlebih dulu.
“Karena penjualan dan penyembelihan tak tersentralisir itu yang melemahkan pengawasan. Jadi, ke depan, semua hewan kurban disembelih di RPH, tiap-tiap wilayah punya RPH. Harus. Jadi bukan seperti sekarang dibebaskan,” kata dia.
Windhu mencontohkan pemotongan hewan di Arab Saudi sudah menerapkan sistem sentralisasi seperti di RPH. Sehingga, hewan ternak dan daging yang dihasilkan sudah dicek terlebih dulu kesehatannya oleh petugas sebelum didistribusikan ke penerima.
“Jadi mereka [peternak] kadang-kadang luput melihat tanda dan gejala ternaknya. Kita harus tiru negara lain, gitu, loh. Negara-negara lain itu terpusat di RPH, bisa dicek dulu sebelum disembelih,” kata dia. (rzr/wis)

[Gambas:Video CNN]