JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengusulkan adanya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan. Angka perceraian yang tinggi di Indonesia mengancam ketahanan keluarga.
Usulan Menag Nasaruddin Umar terkait revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilatarbelakangi keprihatinan terhadap tingginya angka perceraian di Indonesia.
Menurutnya, fenomena ini mengindikasikan bahwa ketahanan rumah tangga memerlukan perhatian yang lebih serius dari negara.
Usulan revisi itu dilakukan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Tahun 2025 di Jakarta. Menag mengusulkan penambahan bab khusus yang secara eksplisit mengatur tentang pelestarian perkawinan.
“Perceraian sering kali melahirkan orang miskin baru. Korban pertamanya adalah istri, lalu anak. Karena itu, negara perlu hadir bukan hanya dalam mengesahkan, tapi juga menjaga keberlangsungan pernikahan,” kata Menag Nasaruddin Umar, dalam keterangan persnya.
Menteri Agama Nasaruddin Umar saat membuka Rakernas Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di Jakarta, Selasa (22/4/2025). (ANTARA/HO-Kemenag)
Angka Perceraian Naik
Angka perceraian di Indonesia tengah menjadi perhatian Kementerian Agama karena angkanya yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2024, Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat ada 446.359 kasus perceraian.
Jumlah ini naik dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2023, angka perceraian sebanyak 463.654 kasus, kemudian ada 516.344 kasus pada 2022, dan 447.743 kasus pada 2021.
Faktor penyebabnya juga berbagai macam, mulai dari masalah ekonomi, perselingkuhan, sampai terjadinya pertengkaran secara terus menerus.
Sementara itu, jumlah perkawinan yang dicatat oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag pada 2024 ada 1.478.424. Angka ini juga diketahui mengalami penurunan drastis dari tahun sebelumnya, yang mana pada 2023 tercatat 1.577.493 orang yang melakukan pernikahan.
Perceraian memberikan sejumlah dampak, baik pada pasangan yang mengalami maupun anak-anak. Pada anak korban perceraian bisa berdampak pada ketidakstabilan emosi, seperti kecemasan dan depresi.
Grafik angka perceraian di Indonesia yang terus meningkat. (ANTARA)
Selain itu, anak perceraian juga bisa menurunkan prestasi anak di sekolah, merasa rendah diri, temperamen, maupun rasa kecewa berkepanjangan terhadap orang tua.
“Namun dampak tersebut tidak selalu negatif jika orang tua tetap berkomitmen untuk bekerja sama dalam mengasuh anak,” kata psikolog klinis Kasandra Putranto kepada VOI.
Keinginan Menteri Agama Nasruddin Umar agar negara ikut berperan aktif dalam mencegah perceraian di Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata. Sejatinya keluarga adalah pilah utama penyangga kekuatan sebuah bangsa. Jika jumlah keluarga yang bercerai terus meningkat, maka pilar-pilar yang menopang kekuatan bangsa semakin rapuh.
Itu karena makin maraknya kasus perceraian dapat membuat kualitas kehidupan anak-anak bangsa semakin buruk. Dalam perceraian, anak-anak selalu menjadi korban utama. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perceraian orang tua bisa mengganggu pola asuh anak-anak.
Sosiolog Universitas Mulawarman Saroso Hamung Pranoto menuturkan, terus meningkatnya angka perceraian dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas manusia Indonesia. Itu karena generasi muda yang semestinya dapat tumbuh maksimal berpotensi menjadi generasi yang tidak sehat secara psikologis maupun fisik.
Penting Menjaga Komunikasi
Sementara itu, psikolog klinis anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana, S.Ps, mengatakan salah satu fenomena fatherless atau kondisi anak kekurangan kehadiran dan peran ayah baik secara fisik maupun mental juga salah satunya disebabkan oleh perceraian.
Terkait dampak buruk perceraian, Vera menekankan bahwa kehadiran sosok ayah dalam kehidupan anak dapat memengaruhi cara berpikir dan pola perilaku anak saat menghadapi suatu hal.
Ketika orang tua bercerai, kehadiran tersebut dapat mencegah anak melakukan berbagai tindakan yang patut diwaspadai, seperti adanya perubahan sikap yaitu bersikap emosional secara berlebihan, menjadi pemberontak yang tidak mau bersekolah atau melakukan hal-hal ekstrem lainnya.
Karena itulah, meski telah terjadi perceraian, seorang ayah tetap tidak boleh melupakan perannya sebagai pemimpin keluarga. Menurunkan ego masing-masing sehingga anak tidak merasa ditempatkan dalam keadaan terjepit dalam masalah kedua belah pihak.
Untuk mencegah anak mengalami fatherless atau merasa diabaikan setelah perceraian, Vera menyarankan orang tua untuk tetap menjamin pemberian kasih sayang pada anak. Karena, setiap tindakan yang dilakukan orang tua menurutnya dapat memengaruhi segala aspek kehidupan anak di masa depan.
“Jalinlah komunikasi rutin dengan anak, misalnya seperti tetap datang ke sekolah untuk menonton berbagai aktivitas anak, contohnya pertunjukan kelas atau yang lainnya,” ucap Vera.
“Ayah tetap harus punya waktu rutin untuk bertemu dan komunikasi dengan anak supaya anak tetap merasa punya arti bagi ayahnya,” imbuhnya.
