Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the acf domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/xcloud.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Anggaran Pilkada Dinilai Terlalu Besar, Efektivitas Demokrasi Dipertanyakan – Xcloud.id
Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Anggaran Pilkada Dinilai Terlalu Besar, Efektivitas Demokrasi Dipertanyakan

Anggaran Pilkada Dinilai Terlalu Besar, Efektivitas Demokrasi Dipertanyakan

Surabaya (beritajatim.com)– Besarnya anggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur menjadi sorotan tajam. Ketua DPD Golkar Surabaya, Arif Fathoni, mengkritisi alokasi dana Pilkada yang dinilainya tidak efisien dan mengusulkan wacana alternatif untuk mekanisme pemilihan kepala daerah.

Melalui unggahan di akun Facebook pribadinya pada Sabtu (14/12/2024), Arif Fathoni mengungkapkan keprihatinannya terhadap anggaran Pilwali Surabaya yang mencapai Rp114 miliar dan anggaran Pilgub Jawa Timur sebesar Rp1,1 triliun.

Dia mempertanyakan apakah biaya sebesar itu benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi?

“Apakah tidak sebaiknya anggaran sebanyak itu digunakan untuk membangun jalan, gedung sekolah, atau program lainnya? Sehingga, misalnya, sekolah dasar bisa digratiskan di seluruh sekolah swasta, dan tidak ada lagi anak putus sekolah karena faktor ekonomi,” ujar Toni sapaan lekatnya.

Toni juga mengajak masyarakat untuk berdiskusi mengenai efektivitas sistem demokrasi langsung dalam Pilkada.

Dia menawarkan wacana agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) demi efisiensi anggaran. “Anggaran yang digunakan untuk Pilkada bisa dialihkan ke sektor pendidikan dan infrastruktur yang lebih bermanfaat bagi rakyat,” katanya.

Wacana tersebut mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Seorang warganet, @Theo Hardika, mengakui pentingnya mekanisme pemilihan langsung di daerah, tetapi menilai bahwa untuk kota-kota besar mekanisme ini perlu dikaji ulang.

“Klo di wilayah lain di kota besar pres tetap pemilihan secara langsung karena biar masyarakat yang menilai, kecuali di Surabaya, Bandung, Jakarta… Karena sistem dari bawah/desa itu tetap pakai bayar klo buat ngurus apapun,” tulisnya.

Sebaliknya, @Frente Edi Firmanto Gonzalez setuju dengan gagasan Arif. Ia menilai bahwa pemilihan kepala daerah cukup dilakukan oleh DPRD untuk menghemat anggaran. “Sebaiknya presiden saja yang pilihan langsung, untuk Pilkada sebaiknya dipilih DPRD… Buang-buang duit gak bermanfaat, ujung-ujungnya gugat di MK,” komentarnya.

Pendapat serupa disampaikan @Sulistyawati yang mengaku terkejut dengan besarnya dana Pilkada. “Wauwww, besar sekali biaya yang harus dikeluarkan,” tulisnya singkat.

Di sisi lain, Muhammad Taufik, warga Surabaya, menilai pemilu sering kali hanya menjadi beban anggaran negara tanpa memberikan dampak nyata pada kehidupan rakyat. “Pemilu itu seringnya hanya menghabiskan anggaran negara, tidak membuat kehidupan rakyat jadi lebih baik. Biar dipilih DPRD saja, biar kalaupun ada penyimpangan dosanya ditanggung oleh DPRD,” ujarnya.

Perbedaan pandangan ini mencerminkan dilema yang tengah dihadapi sistem demokrasi di Indonesia. Sementara sebagian masyarakat memandang pemilihan langsung sebagai wujud nyata partisipasi publik, yang lain menilai mekanisme ini terlalu mahal dan seringkali menimbulkan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan wacana seperti ini, publik pun dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah demokrasi langsung benar-benar sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, atau sudah saatnya mempertimbangkan alternatif yang lebih efisien? [kun]

Merangkum Semua Peristiwa