Blitar (beritajatim.com) – Anggaran penanganan stunting di Kabupaten Blitar tahun 2025 ini berkurang sebesar Rp255 miliar dari sebelumnya. Saat ini Pemerintah Kabupaten Blitar pun hanya menganggarkan dana Rp92 miliar untuk mengatasi permasalahan stunting.
Jumlah itu jauh lebih kecil jika dibandingkan anggaran penanganan stunting tahun 2024 lalu yang mencapai Rp375 miliar. Kondisi ini tentu tidak ideal dalam upaya penurunan stunting di Kabupaten Blitar.
“Alokasi anggaran yang sebelumnya mencapai Rp347 miliar tahun lalu, kini hanya tersisa Rp92 miliar. Penurunan ini cukup signifikan mencapai 73 persen. Tahun lalu, ada 58 sub kegiatan yang kami tag untuk mendukung stunting. Tahun ini hanya 40 yang diakui,” jelas Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Kabupaten Blitar, Lila Erayunia, Kamis (12/6/2025).
Pengurangan anggaran ini terjadi akibat efisiensi anggaran dari pemerintah pusat. Selain itu, hasil review dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membuat beberapa sub kegiatan terpangkas. Dengan begitu, kegiatan yang dinilai tak secara langsung menyasar anak stunting, tidak diakui sebagai bagian dari pendukung program.
Salah satu yang terdampak pemangkasan anggaran stunting ini adalah dinas kesehatan yang tahun lalu mendapat alokasi Rp62 miliar. Namun, kini hanya menerima sekitar Rp45,5 miliar untuk program stunting.
“Anggaran itu paling besar dalam penanganan retardasi pertumbuhan anak,” jelas Lila.
Meski berkurang, namun Pemerintah Kabupaten Blitar menjamin program-program pokok penanganan stunting tetap berjalan seperti biasa. Program tersebut antara lain penyediaan tablet tambah darah, pemenuhan gizi ibu hamil dan remaja putri, serta edukasi keluarga melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kabupaten Blitar.
“Terpenting, meski anggaran terkena efisiensi, program tetap berjalan. Pencegahan pernikahan anak, pembinaan tim percepatan penurunan stunting (TPPS), dan kegiatan SOTH (Sekolah Orang Tua Hebat) masih terus kami laksanakan. Sebab, kegiatan itu langsung menyasar anak stunting,” jelasnya.
Besar kecilnya anggaran, tentu sangat berpengaruh dalam upaya pengentasan stunting di Kabupaten Blitar. Pada tahun 2024, Pemerintah Kabupaten Blitar yang menganggarkan anggaran sebesar Rp375 miliar tercatat mampu menurunkan angka stunting dari 20,3 persen menjadi 17,8 persen.
Di tengah kondisi itu Bupati Blitar Rijanto justru tak mau menyerah dan menargetkan penurunan angka stunting dari 17 persen menjadi 14,65 persen. Ini dianggap Rijanto sebagai target realistis yang terus dikejar.
Namun, Bupati Rijanto menegaskan bahwa menuju angka nol (zero stunting) masih menjadi tantangan besar. Hasil identifikasi faktor determinan stunting di Kabupaten Blitar lebih dari 70 persen adalah dikarenakan pola asuh yang kurang tepat.
Maka dari itu, menjadi suatu tantangan yang besar bagi Pemkab Blitar untuk bisa mengubah pemikiran orang tua dan memberikan pemahaman terkait pola asuh yang benar, gizi seimbang bagi ibu hamil dan balita.
“Evaluasi dari provinsi tadi memberi semangat baru. Kuncinya keterpaduan, kekompakan, dan komitmen dari seluruh stakeholder. Tidak hanya OPD, tapi juga PKK, Aisyiyah, Muslimat, Fatayat, Baznas, hingga forum CSR turut terlibat,” ungkap Rijanto.
Rijanto mengaku, dalam penanganan stunting perlu sinergi antara pemerintah daerah, pemerintah desa, NGO dan swasta, termasuk PKK. Tidak hanya itu, keberadaan puskesmas dan pustu integrasi layanan primer (ILP) tentu mendekatkan pelayanan ke masyarakat . Apalagi, Kabupaten Blitar sebagai produsen protein hewani memudahkan akses ketercukupan gizi. Namun tentu membutuhkan budaya gotong royong dan kepedulian yang tinggi di masyarakat.
“Yang paling penting adalah perubahan perilaku. Pola hidup bersih dan sehat harus dibiasakan sejak dini. Kalau masyarakat sudah sadar, kerja pemerintah jauh lebih ringan,” pungkasnya. [owi/beq]
