Anggap Demokrasi Cacat, Mahasiswa Surabaya Serukan Reformasi Jilid II

9 February 2024, 20:50

Surabaya, CNN Indonesia — Sejumlah mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS) menggelar aksi memprotes pelemahan demokrasi imbas dinasti politik, di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jumat (9/2).
Menurut pantauan CNNIndonesia.com di lokasi, mereka mengenakan pakaian serba hitam, sambil menandu keranda mayat. Mereka melakukan aksi dengan melakukan teatrikal dan menaburkan bunga.
“Presiden Jokowi hari ini sudah nyata-nyata mencacatkan demokrasi. Jokowi mendorong anak kandungnya sendiri untuk jadi cawapres. Kami menolak politik dinasti,” kata salah satu orator.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka pun mendesak Jokowi turun atau mengundurkan diri dari jabatan presiden. Jika tidak, demonstran mendesak reformasi jilid 2 terjadi.
“Jika Jokowi tidak turun maka kita sepakat akan ada reformasi jilid II. Yang memiliki negara ini bukan satu pihak keluarga atau partai, tapi rakyat Indonesia,” ucapnya.

Koordinator Lapangan (Korlap) GMS Mohammad Jalaludin mengatakan aksi ini mereka sebut sebagai gerakan Surabaya Melawan.
Ia menyebut situasi demokrasi di Indonesia tengah dalam kondisi yang karut-marut. Pemerintah makin menyalahi nilai-nilai demokrasi.

“Parahnya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang digunakan presiden untuk melakukan intervensi kekuasaan pada proses dan pelaksanaan pemilu hingga money politics,” cetus dia.
“Maka dengan ini kami seluruh masyarakat yang hadir dalam agenda Surabaya Melawan menyatakan menuntut Presiden RI untuk tidak memainkan nilai dan norma hukum sebagai instrumen politik,” tegasnya.
Momen Reformasi diperingati setiap tahun pada 21 Mei. Tanggal ini merupakan saat Presiden kedua RI Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 1998 setelah rangkaian demo masif mahasiswa, termasuk di Gedung DPR. 
Setidaknya ada empat tuntutan yang diutarakan oleh massa aksi ini. Pertama, menuntut Presiden RI untuk tidak memainkan nilai dan norma hukum dan menjadikan hukum sebagai instrumen politik keluarga sehingga hukum jauh dari keadilan.
Kedua, menuntut Presiden RI memberikan jaminan TNI, Polri, dan ASN untuk bersikap netral agar tidak memihak pada salah satu calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada 14 februari 2024.

“Menuntut Presiden agar tidak melakukan tindakan nepotisme. Menuntut KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu untuk tidak masuk angin agar tidak memihak apalagi dikendalikan oleh Presiden,” lanjut dia.
Alan, yang juga anggota GMNI Unitomo Surabaya ini, menyebut aksi “ini awalan memantik teman-teman, nantinya akan ada gerakan besar-besaran di Surabaya. Karena kita tahu Surabaya sebagai sentra gerakan organisasi internal eksternal kampus.”
Dalam aksi demo terpisah, Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM SI) memvonis Jokowi sebagai ‘tahanan rakyat’ karena menganggapnya sebagai ‘penjahat demokrasi’.
Hal itu disampaikan salah satu perwakilan BEM SI Fauzi usai mereka menggelar aksi simbolik di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Jumat (9/2).

“Kami vonis sebagai tahanan rakyat karna telah berbuat jahat sebagai penjahat demokrasi di Indonesia,” kata Fauzi.
Dalam aksinya mereka juga membawa baliho besar dengan muka Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka meletakan baliho itu di tengah-tengah jalan raya yang penuh dilintasi kendaraan.
“Kami ingin mengajak masyarakat di Indonesia terutama masyarakat yang ada di DKI Jakarta untuk sama sama mengadili presiden Jokowi dengan simbol mereka bisa melintasi atau meginjak-injak foto presiden Jokowi,” ujarnya.
Perwakilan BEM SI dari Universitas Brawijaya, Rafly Rehan Alfajri menyampaikan aksi kali ini bertajuk ‘Demokrasi Dikorupsi, Reformasi Lagi’.

“Artinya hari ini kami sedang menyorot bagaimana kekuasaan yang dinahkodai oleh Presiden Joko Widodo banyak menyalahgunakan kekuasaannya, lembaga negara, bahkan instrumen hukum untuk kepentingan politik tertentu,” kata dia.
Terkait tudingan bertubi-tubi soal politik dinasti di Pilpres 2024, Presiden Jokowi pernah meresponsnya dengan senyuman.
“Semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu rakyat, bukan itu bukan elite, bukan partai. Itulah demokrasi,” ujar dia sambil tersenyum, di Jakarta, Selasa (24/10).
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, saat merespons somasi dari sejumlah advokat kepada Presiden terkait nepotisme, menilai semua itu adalah bentuk kebebasan berpendapat di negara demokrasi.

“Negara kita adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Setiap warga negara termasuk advokat memiliki kebebasan untuk menyampaikan gagasan, pendapat, aspirasi dan bahkan kritik kepada penyelenggara negara,” kata dia dalam pesan singkat, Kamis (7/12/2023).
Menurut Ari, dengan atau tanpa somasi tersebut, Presiden tetap berkomitmen mewujudkan demokrasi berkualitas, menjaga netralitas aparatur negara serta menegakkan supremasi hukum.
(frd/yla/arh)

Partai

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Transportasi