Analisis Hukum Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto
Pemerhati masalah hukum dan kemasyarakatan
LANGKAH
pemerintah yang memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan kalangan akademisi hukum.
Banyak pihak mempertanyakan landasan hukum, urgensi politis, serta konsistensi penerapan prinsip-prinsip negara hukum dalam kebijakan tersebut. Kelihatannya didasari oleh kepentingan politik praktis.
Abolisi dan amnesti bukanlah tindakan hukum biasa. Keduanya merupakan instrumen hukum luar biasa (
extraordinary legal remedy
) yang berada di tangan presiden sebagai kepala negara, tapi tetap harus dikontrol oleh prinsip
checks and balance
s DPR agar tidak melanggar konstitusi dan etika keadilan.
Dalam teori hukum pidana, abolisi adalah penghapusan proses pidana sebelum dijatuhkannya putusan pengadilan.
Sedangkan amnesti adalah penghapusan seluruh akibat hukum dari suatu tindak pidana yang biasanya bersifat politis dan berlaku kolektif.
Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.
Tom Lembon (mantan menteri perdagangan di era pemerintahan Jokowi) yang dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta dalam perkara impor gula, tiba-tiba memperoleh abolisi.
Padahal proses peradilannya belum tuntas sepenuhnya (proses banding) dan belum ada data publik yang menunjukkan bahwa ia menjadi korban kriminalisasi.
Banyak ahli hukum beranggapan bahwa abolisi seharusnya diberikan dalam konteks rekonsiliasi nasional atau konflik politik berkepanjangan, bukan sebagai bentuk “pengampunan pribadi” terhadap elite yang sedang dalam sorotan hukum.
Menurut Prof. Andi Hamzah dalam bukunya
Pengantar Hukum Pidana Indonesia
(Prenada Media, Jakarta, 2008), abolisi hanya layak jika motifnya bersifat humaniter atau menghindari konflik sosial-politik besar.
Sementara itu, amnesti bagi Hasto Kristiyanto, politisi yang terseret dalam perkara
obstruction of justice
dalam kasus Harun Masiku, justru dianggap sebagai langkah politis yang sangat problematis.
Hasto oleh pengadilan divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Meski secara normatif presiden memiliki hak memberikan amnesti. Namun, substansi keadilan dan kepastian hukum menjadi kabur jika tidak didasarkan pada mekanisme yudisial yang transparan.
Dalam Paradigma Hukum Progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif Hukum yang Membebaskan (Kompas, Jakarta, 2009), hukum tidak semata prosedural, tapi harus berpihak pada keadilan substantif.
Pemberian amnesti kepada seorang elite partai di tengah proses hukum aktif, tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik, mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dalam pendekatan paradigmatik hukum konstitusional, pemberian abolisi dan amnesti harus diuji dari prinsip
constitutional supremacy
dan
democratic accountability.
Presiden memang memiliki hak prerogatif, tapi hak tersebut bukan kekuasaan absolut, melainkan harus mempertimbangkan aspirasi publik dan prinsip negara hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Konstitusi Press, Jakarta, 2005), kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensial Indonesia tetap harus dikendalikan oleh mekanisme hukum dan lembaga legislatif, dalam hal ini DPR.
Transparansi harus menjadi dasar utama sebelum pemberian abolisi dan amnesti. Rakyat perlu diberi tahu alasan objektif dan dokumen pertimbangan hukum maupun politis yang digunakan presiden.
DPR sebagai lembaga pertimbangan jangan hanya menjadi stempel politik kekuasaan. Mereka harus kritis dan independen terhadap keputusan presiden, bukan tunduk pada kepentingan politik sesaat.
Reformulasi prosedur pengampunan negara perlu dipertimbangkan agar dapat dibatasi hanya pada situasi luar biasa (
extraordinary circumstances
) yang memiliki dasar hukum dan moral yang kuat.
Keadilan bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal etika konstitusional. Memberikan abolisi dan amnesti kepada figur politik yang sedang dalam pusaran kasus hukum dapat menggerus kepercayaan publik pada sistem hukum nasional.
Jika presiden ingin menjadikan kewenangan ini sebagai alat rekonsiliasi atau perlindungan terhadap ketidakadilan, maka harus ada pembuktian kuat di ruang publik bahwa pemberian abolisi dan amnesti tersebut berpijak pada keadilan, bukan pada politik kekuasaan.
Hukum memang terkadang menjadi alat politik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Analisis Hukum Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto Nasional 1 Agustus 2025
/data/photo/2025/07/28/6886b016ea233.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)