Surabaya (beritajatim.com) – Dosen FH Untag Surabaya sekaligus Peneliti di Nusantara Center for Social Research, Sultoni Fikri, menyebut partai politik menciptakan teori hukum baru yang tidak dikenal dalam konstitusi. Dia menilai istilah nonaktif yang digunakan tiga partai politik untuk kadernya di DPR hanya gimmick politik.
“Luar biasa. Partai politik di negeri ini tampaknya telah melampaui ahli-ahli hukum dalam menciptakan teori hukum baru,” kata Sultoni, Jumat (5/9/2025).
Sultoni menjelaskan, istilah nonaktif tidak pernah disebut dalam Undang-Undang MD3. Konstitusi, kata dia, hanya mengenal mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
“Ironinya, konstitusi dan UU MD3 jelas hanya mengenal mekanisme pergantian antarwaktu, bukan cuti atau penonaktifan,” ujar Sultoni.
Dia menyebut penonaktifan tersebut sebagai strategi politik kosmetik untuk memperbaiki citra. Langkah itu, menurutnya, tidak menyentuh akar masalah dan hanya meredam kemarahan publik sementara waktu.
“Ini semacam politik kosmetik yakni wajah DPR dipoles dengan bedak tebal, padahal bopengnya tetap terlihat,” ucapnya.
Dalam perspektif teori politik, Sultoni merujuk pada Iron Law of Oligarchy dari Robert Michels. Dia menilai partai cenderung mengutamakan kelangsungan organisasi ketimbang aspirasi rakyat.
“Kader bermasalah tidak langsung di-PAW sesuai undang-undang, tetapi hanya dinonaktifkan, status setengah hidup setengah mati. Schrödinger’s legislator, begitu istilah: anggota DPR yang ada sekaligus tiada,” katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa istilah nonaktif tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Menurutnya, hal ini hanya lahir dari kepentingan politik partai semata.
“Nonaktif ala partai ini jelas tidak bersumber dari mana pun selain dari grundnorm selera politik partai,” ujarnya.
Sultoni mengingatkan bahwa publik tetap kecewa dan marah, meski partai mencoba meredakan suasana. Dia menyebut ini hanya strategi bertahan hidup partai di tengah krisis legitimasi.
“Partai seolah berkata: ‘Tenang rakyat, kami sudah menonaktifkan kok. Jadi jangan cerewet lagi.’ Ini bukan solusi; ini sekadar strategi survival politik,” tegasnya.
Menurut Sultoni, rakyat seharusnya memiliki mekanisme konstitusional untuk mencabut mandat wakilnya. Hal ini menjadi langkah nyata agar DPR benar-benar mewakili rakyat.
“Jika mereka mengkhianati mandat itu, logis jika rakyat punya hak untuk mencabutnya,” katanya.
Dia menegaskan, selama mekanisme recall langsung dari rakyat belum diterapkan, praktik politik kosmetik akan terus berulang. Bahkan, istilah politik baru yang lebih absurd bisa saja muncul.
“Sampai hari itu tiba, kita mungkin akan terus disuguhi istilah baru dalam kamus politik Indonesia. Siapa tahu? Dengan kreativitas partai, hukum bisa kalah dari hukum dagelan,” pungkasnya .[asg/aje]
