Jakarta –
Penggunaan galon air minum guna ulang berbasis polikarbonat (PC) dibayangi risiko peluruhan atau leaching Bisphenol A (BPA). Proses distribusi dan penyimpanan yang sulit dikontrol dapat menyebabkan BPA meluruh dan dapat menimbulkan masalah kesehatan apabila tak sengaja dikonsumsi terus menerus bersama air minum.
Pada tahun 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengeluarkan aturan baru yang mengharuskan produsen air minum dalam kemasan (AMDK) untuk memasang label peringatan bahaya BPA pada kemasan galon polikarbonat (PC). Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018.
Produsen AMDK harus melakukan pemasangan label tersebut selambat-lambatnya tahun 2028.
Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar mendorong aturan ini cepat diberlakukan, lantaran berkaitan dengan kesehatan masyarakat, khususnya ibu dan anak.
Berbagai penelitian, menurutnya, telah mengungkap dampak kesehatan akibat paparan BPA terus-menerus dalam waktu jangka panjang.
“Mbok ya diatur, kalau udah keluar aturannya misal pasang stiker. Ya stiker bisa membantu lah ya untuk ibu-ibu memilih oh ya ini (mengandung BPA). Masak butuh empat tahun sih buat masang stiker aja?” kata Nia Umar dalam acara detikcom Leaders Forum di Jakarta Selatan, Selasa (4/2/2025).
Nia berharap Indonesia bisa meniru apa yang dilakukan oleh negara-negara lain seperti Prancis yang telah melakukan pelarangan produk BPA. Menurutnya pemerintah harus bisa bertindak tegas untuk mengatur hal ini dan salah satunya diawali dengan langkah pelabelan BPA.
Selain itu, ia juga menyoroti masih diperlukannya sosialisasi terkait BPA. Menurutnya, masih ada banyak ibu-ibu di Indonesia yang belum mengetahui dampak bahaya dari BPA.
“Sebenarnya yang dirugikan itu orang-orang yang rentan, yang tidak paham. Saya berulang kali bilang, kalau ibu-ibu kan konsumen, tidak banyak ibu-ibu itu aware risiko BPA ini apa. BPA ini apa aja mungkin mereka nggak paham. Jadi saya rasa menjadi PR bersama juga untuk mensosialisasikan risikonya ke masyarakat,” tambahnya.
Di sisi lain, Pakar Polimer Universitas Indonesia Prof Dr Mochamad Chalid, SSi, MScEng berharap aturan label bahaya BPA sebaiknya bisa segera direalisasikan. Penerapan aturan tersebut dianggap menjadi langkah awal untuk melindungi masyarakat dari risiko paparan BPA. Karena pada dasarnya, penggunaan BPA untuk produk tertentu sudah dilarang di beberapa negara, khususnya di benua Eropa seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.
“Saya rasa Indonesia wajib ya menerapkan aturan serupa, namun didukung stakeholder juga dan produsen,” tandasnya.
(avk/up)