Bisnis.com, JAKARTA — ST Telemedia Global Data Centres (STT GDC) Indonesia menyebut kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) membuat kebutuhan terhadap layanan data center meningkat. Namun, sejalan dengan peningkatan itu, ongkos yang harus disiapkan juga membesar.
Country Head ST Telemedia Global Data Centres (STT GDC) Indonesia, Hendrikus Gozali, mengatakan perubahan kebutuhan kapasitas menjadi salah satu indikator utama pergeseran teknologi di industri pusat data.
“Ketika kami memulai pembangunan fasilitas di Indonesia, desainnya masih berdasarkan kebutuhan cloud 2.0, yaitu satu rak dengan kapasitas 8 kilowatt. Namun ketika pembangunan selesai, kebutuhannya bukan 8 lagi,” kata Hendrikus dalam City Data Centre Day 2025 di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Menurut Hendrikus, peningkatan permintaan daya terus terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Hendrikus menuturkan bahwa saat ini pihaknya telah menyiapkan kapasitas hingga 40 kilowatt dan sebagian dari kapasitas tersebut sudah mulai terisi.
Dia menjelaskan, tren peningkatan kapasitas ini semakin pesat seiring dengan perkembangan chip dan teknologi AI.
Hendrikus mengatakan saat ini sudah muncul teknologi baru seperti Blackwell yang memiliki kapasitas hingga 130–150 kilowatt. Bahkan, menurutnya, Nvidia telah mengumumkan rencana meluncurkan chip dengan kebutuhan daya mencapai 600 kilowatt pada 2027.
Dia menilai perubahan ini sangat signifikan dan menjadi momentum penting bagi pertumbuhan bisnis data center.
“Itu benar-benar berbeda. Jadi, soal kapasitas ini sangat menarik karena di sinilah kita bisa terus bertumbuh,” ujarnya.
Hendrikus menambahkan, skala kebutuhan kini meningkat berkali lipat.
“Kebutuhan yang dulu hanya 2 megawatt kini menjadi 20 megawatt, dan sekarang kita berbicara tentang perusahaan yang ingin memiliki fasilitas hingga 100 megawatt. Hal ini karena pelatihan AI membutuhkan latensi yang sangat rendah,” tuturnya.
Hendrikus menjelaskan tantangan utama bagi industri pusat data saat ini adalah memperoleh dukungan pembiayaan dari perbankan, termasuk dalam hal pengadaan lahan (land banking) dan ketersediaan pasokan listrik (power banking).
Menurutnya, dua hal tersebut kini menjadi fokus utama investasi industri data center.
“Di situlah biaya investasi akan berfokus. Saya melihat land banking dan power banking sebagai sesuatu yang menarik. Power banking berarti kita harus memiliki pasokan listrik yang memadai,” katanya.
Dia juga menekankan pentingnya kesiapan infrastruktur dasar untuk mendukung ekspansi data center di kawasan Asia Tenggara.
“Kita juga harus memiliki lahan. Misalnya, seperti yang Anda lihat di Thailand, mereka pindah dari Johor ke Thailand. Tapi sekarang di Thailand muncul masalah baru, pasokan listrik terbatas. Karena itu, mereka kini melirik Jakarta, bukan Batam. Sebab biaya listrik bukan satu-satunya pertimbangan di sini,” ujar Hendrikus.
Lebih lanjut, dia menilai faktor geopolitik dan dukungan lembaga keuangan lokal turut berperan dalam menentukan arah ekspansi industri ini.
“Jadi, hal ini juga penting bagi pihak perbankan, yakni menentukan lokasi mana yang layak didukung, di mana bisnis akan bertumbuh. Ketika bisnis tidak berkembang, seperti yang saya katakan, itu seperti koloni energi, mereka pindah dari satu negara ke negara lain, mengekspor sumber daya, dan selesai,” katanya.
