Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai

Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai

Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, Ida Budhiati menilai, seorang warga negara kehilangan kesempatan untuk menggugat dugaan pelanggaran dalam Pemilihan Umum (Pemilu) jika proses Pemilu sudah selesai dilaksanakan.
Hal ini disampaikan Ida ketika dihadirkan sebagai ahli dari kubu Wakil Presiden
Gibran Rakabuming Raka
dan KPU RI dalam sidang lanjutan
gugatan perdata
terhadap riwayat pendidikan SMA Gibran.
“Berkaitan dengan sengketa, bahwa warga negara kemudian mengetahui (ada dugaan pelanggaran) setelah pemilu berakhir, maka menurut kerangka hukum pemilu, kehilangan kesempatan untuk mengajukan komplain mengajukan sengketa,” ujar Ida, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
Ida mengatakan, masyarakat telah diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ketika menemukan adanya kejanggalan saat proses Pemilu masih berlangsung.
Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.
“Warga negara itu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatan atau meminta akuntabilitas dari pelaksanaan tugas pejabat administrasi negara di bidang kepemiluan,” ujar Ida.
Namun, keberatan ini harus diajukan saat Pemilu masih berlangsung dan pada tahap yang sesuai.
Misalnya, untuk sengketa pencalonan presiden dan wakil presiden, diajukan sebelum calon ini ditetapkan sebagai pasangan calon.
Ida mengatakan, batas waktu ini juga harus ditaati oleh warga negara yang hendak mengajukan keberatan.
“Dan warga negara itu harus mematuhi kapan waktunya yang disediakan UU,” imbuh dia.
Selain itu, Ida menilai, obyek gugatan perdata ini masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebab, yang digugat adalah dugaan pelanggaran yang dilaksanakan oleh KPU selaku penyelenggara negara.
Ida menilai, meski Gibran digugat dalam kapabilitas sebagai warga negara, gugatan perdata ini tetap menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili karena tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menjadi obyek PTUN.
Sejak didaftarkan pada 29 Agustus 2025, perkara nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. ini mencantumkan beberapa tuntutan terhadap Gibran dan KPU RI.
Pertama, kedua tergugat, Gibran dan KPU, dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004, lalu di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007.
Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
Namun, Subhan menilai, dua institusi ini tidak sesuai dengan persyaratan yang ada di undang-undang dan dianggap tidak sah sebagai pendidik setingkat SLTA.
Atas hal ini, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.