Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia menjadi negara penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar kelima secara absolut, setelah China, Amerika Serikat, India, dan Rusia pada 2022. Untuk itu, Indonesia setidaknya memerlukan investasi sebesar US$2,4 triliun untuk mencapai net zero pada 2060.
Gas rumah kaca adalah faktor utama penyebab “kiamat” pemanasan global yang kemudian menyebabkan perubahan iklim. Untuk mencapai “net zero”, emisi gas rumah kaca harus berhenti tumbuh.
Laporan dari firma konsultan manajemen global Kearney mengidentifikasi lima sektor utama yang berkontribusi pada emisi GRK Indonesia. Di antaranya adalah pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan (AFOLU) dengan kontribusi 55%, energi 26%, transportasi 8%, sampah 8% dan proses industri dan produksi (IPPU) 3%.
Direktur Utama Kearney Indonesia Shirley Santoso menilai, Indonesia tengah berada pada momen penentuan komitmennya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Oleh sebab itu, perlu adanya intervensi dari pemangku kepentingan bagi pos-pos penyumbang emisi gas tersebut.
“Sekarang, fokus kita harus beralih untuk menunjukkan kemajuan yang nyata dalam pengurangan emisi sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Perjalanan ini menghadirkan tantangan besar sekaligus peluang yang luar biasa untuk diversifikasi ekonomi dan kemajuan teknologi,” ungkap Shirley tertulis, pada Kamis, (5/12/2024).
Salah satu solusi lintas sektor yang penting dilakukan adalah mendorong pembiayaan hijau atau green financing. Adapun nilai yang dibutuhkan mencapai US$2,4 triliun atau sekitar Rp 38,08 kuadriliun.
“Mencapai net zero pada 2060 memerlukan investasi sebesar $2,4 triliun atau $62 miliar per tahun. Saat ini, ESG telah menjadi fokus utama bagi investor global. Indonesia harus mengurangi hambatan penanaman modal asing dan menyesuaikan pedoman pinjaman untuk menarik modal bagi investasi hijau,” sebagaimana diungkap laporan berjudul ‘Jalur Indonesia Menuju Net Zero 2060’ tersebut.
Di luar pembiayaan, pemerintah Indonesia diminta untuk membentuk kerangka regulasi yang efektif, termasuk teknologi bersih dan penetapan harga karbon. Hal ini bisa dilakukan melalui pajak dan kredit karbon.
Pemerintah pun harus fokus dalam bidang riset dan pengembangan energi hijau sehingga mendorong adopsi teknologi baru. Selain itu, perlu juga adanya inklusivitas dengan mendukung kelompok-kelompok rentan, seperti UMKM di industri dengan karbon tinggi, petani kecil, dan tenaga kerja Indonesia secara menyeluruh.
Lebih lanjut, Kearney mendukung adanya kampanye urgensi energi terbarukan. Pasalnya, 64% orang Indonesia masih ragu untuk mengalokasikan sumber daya mereka untuk perubahan iklim.
(dem/dem)